Penerbit SituSeni

Selasa, 08 Juni 2021

ARAH KARYA SASTRA - Bagian 1

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Kenapa manusia mesti menulis, dan kenapa karya sastra mesti ditulis? Buat apa? Untuk apa?

Saya patut bersyukur, kini makin meruyak orang yang bergiat dalam menulis, termasuk menulis karya sastra, apakah itu puisi, prosa (drama jarang ditulis), pun artikel bebas alias esay. Dulu mah waktu kuliah tahun 1990 hingga 1997 (saya kuliah tepat waktu, 7 tahun), kawan yang suka menulis tidak sampai 25% dari jumlah yang ada. Sekarang di kampus, mahasiswa yang suka menulis bisa jadi lebih dari 50%. Juga masyarakat, termasuk tetangga, yang mulai menulis tampak makin meggeliat. Kemajuankah?

Saya bisa digolongkan ke dalam punggawa kelas puritan nan paedagogis, disebabkan saya kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, IKIP Loh., dan belum menjadi UPI Bandung, maka ujung dari aktivitas menulis termasuk karya kreatif sastra, bagi saya adalah sebagai sarana pendidikan. Diksi ‘sastra’ itu kan dari bahasa Sansakerta, yang artinya media pembelajaran. Sebetulnya jika ‘ngurek’ atau ‘neger’ belut pun jadi sarana pendidikan, maka ‘ngurek’ dan ‘neger’ harus disebut sebagai sastra pertunjukan, atau pertunjukan sastra.

Dengan kata lain, sastra itu adalah piranti yang berinisial l'art pour homme (kesenian untuk kemanusiaan), dan bukan semata seni untuk masturbasi seperti sekarang kian menggejala.

Adapun makna dan tujuan pendidikan, selalu dikembalikan ke Trilogi pendidikan yang dicetuskan oleh Mas Ki Hadjar Dewantara, yang bunyinya (sudah pada tahu kan?)

Pada era Mendikbud dijabat oleh kiyai Ing Wardiman Djojonegoro, suka ada plesetan dari ‘trilogi’ menjadi ‘caturlogi’ pendidikan, yang bunyinya begini:

1. Tut wuri handayani (Jika kau berada di belakang, maka beriloh dorongan kepada yang di depan).
2. Ing madya mangun karsa (jika kau berada di tengah, maka bangunlah gagasan).
3. Ing ngarsa sung tulada (jika kau memiliki karsa, maka jadilah contoh yang baik).
4. Ing Wardiman Djojonegoro (Kalau sekolah atau jadi sastrawan, harus lulus atuh euy, kedah jujur, supaya negara kebawa jaya: Berat Jendral!).

Saya ujug-ujug teringat sastra ketika di suatu petang kian meremang, dalam rintik hujan masih mengguyur, dan harus melanjutkan perjalanan dengan samar arah tempuh. Di hadapan, tampak hutan lebat, kanan bukit, kiri jurang, di seberang jurang tampak bukit berselimut kabut, matahari sudah lingsir, senja kian temaran perlahan, dan nyali saya tiba-tiba ciut, karena akan memasuki jalan yang dipayungi rumpun bambu di kanan kiri, pohon-pohon besar, seorang diri, berkendara roda dua. Di depan tampak benar-benar poek, dan sinyal googlemap terlihat lup-lep. Saya ingat meong congkok yang galak, ular piton yang bisa membelit, maung kajajaden yang suka ujug-ujug hadir di hadapan, atau ririwa dan bagong teler, dan lain-lain. Dalam hati saya berbisik: Lanjutkan jangan, lanjutkan atau balik lagi?

Rasa kasih dan cinta telah mengusir semua ketakutan dan kecemasan. Ia menjelma sepenggal puisi, lalu puisi jadi jadi mantra untuk mengusir bala, jadi doa yang meneguhkan hati:

"Sima aing sima maung. Aing leuwih nyiliwuri batan jurig batan dedemit. Prung mamprung. Poek jadi caang, owa jeung surili jadi balad, oray nyingray bueuk unggeuk. Sakabeh sato nu galak atawa harak, taya kawani ka kami, da wungkul Pangeran nu Kersaning Kawasa. Puah!"

(Auraku arura harimau. Aku lebih halus dari mahluk halus dari memedi. Laju melajulah. Gelap jadi terang, trimatra jadi kawan, ular kabur burung hantu mengangguk setuju. Seluruh hewan yang galak dan buas, tiada keberanian di hadapanku, dan  sebab hanya Tuhan yang Maha Kuasa).

Lalu kulalui jalan itu, dan benar saja, tak ada apa-apa. Membayangkan sesuatu yang menakutkan, seringkali lebih mengerikan dari kenyataan. Rasa takut lebih menakutkan dari apapun yang benar-benar bisa membuat kita takut. Dan, aku pun sampai di tujuan.

Di tujuan itulah kudapati kabar, gempa kecil kembali mengguncang Kab. Sukabumi dan Kab. Cianjur. Sejak 2016, menurut salah satu situs yang memiliki otoritas perkara gempa, telah 11 kali Kabupaten Sukabumi ditimpa gempa. Hal ini mengingatkanku pada Gunung Krakatau di lepas laut, yang beberapa kali kentut sebelum akhirnya bener-benar berak, dengan bau belerang yang bisa membunuh, dan tsunami yang menelan sekian korban. Dalam sebuah film tentang Krakatau, yang melibatkan pemain dari Belanda, batuk-batuk itu sebenarnya peringatan, tapi manusia tidak peka, tidak segera mengungsi, dan ketika ledakan benar-benar terjadi, maka musnahlah sekian nyawa dicerna buana, dimamah segala yang bertuah.

Lini yang berkali-kali menari di Sukabumi itu, mestinya jadi peringatan bagi saya, dan mestinya para sastrawan segera menulis prosa atau puisi, esai atau apapun, yang bermuara pada pendidikan tentang kewaspadaan dan penyelamatan diri, ya semacam peringatan dini serta migitasi bencana.

Sastra tidak cukup hanya sarana untuk masturbasi, macam keributan dan meributkan kebesaran NAMA serta pemuatan di media massa. Sastra, mau tak mau, mengingatkan kepada guru saya, kiyai begawan Wahyu Sulaiman Rendra, yang berujar:

Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.


Orang memang bebas menulis apapun, mau tentang ngaloco atau masturbasi, mau tentang renda-renda pakaian atau gincu-gincu kehidupan, mau tentang kegalauan atau kepicakan mata batin, mau curhat atau mengungkapkan dendam kesumat, mau apapun adalah bebas. Namun, tulisan akan lebih bermakna dan jadi SASTRA bila bermuara pada l'arte pour home (kesenian untuk kemanusiaan), yang bermanfaat untuk penyadaran, kewarasan, dan pemberdayaan kehidupan kini juga generasi yang akan datang.

Sastra yang hanya sarana onani, bahkan terasa memunggungi pernyataan filsuf Renne Descartes yang bersabda: Cogito er go sum (aku berpikir, maka aku ada).

Para penulis memunggungi pernyataan Descartes itu, dan memelesetkannya menjadi: Aku berbelanja maka aku ada, atau aku narsis maka aku eksis.

Ya, saya mesti menulis puisi atau esai, agar menjadi puisi atau mantra, doa atau singlar, agar saya tidak takut, dan selalu waspada, sekalipun saya berkelana sore itu, sebenarnya masih di kawasan Bandung, jadi kenapa mesti takut oleh hutan di Bandung, bukankah sudah tidak ada Maung Bandung? Maung sih ada, di depan kantor koramil berupa patung, atau dalam yel yel viking.


Bandung adalah tatar yang dilingkung oleh gunung, dan diramalkan akan ‘heurin ku tangtung’ (padat oleh kerumunan berdiri). Tapi, memang sih, sore itu aku berkelana bukan di Kota Bandung, tapi di Kabupaten Bandung Barat yang masih memiliki hutan, serta dihiasi oleh gunung-gunung kecil yang kadang terasa lucu sudah sejak dari nama-namanya: Gunung Bohong, Gunung Batur, Gunung Kembar, Gunung-gunungan, dll.

Bandung 150 ribu tahun silam, adalah berupa undakan tanah besar yang diberi nama Gunung Jayagiri. Ia meledak begitu dahsyat, menyebabkan es mencair di kutub selatan, dan efekdomino-nya membuat volume laut bertambah, sehingga dataran rendah seperti di kawasan Sunda dan Sahul, jadi terendam dan sekarang menjadi laut Jawa di barat, yang memisahkan Pulau Sumatra, Melayu, Kalimantan Jawa, serta perairan Arafuru di timur, yang memisahkan Pulau Papua dan Benua Australia.

Ini yang juga perlu kita renungkan, ternyata Sulawesi, Maluku, serta beberapa Pulau di Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT) sedari dulu sudah berpisah, atau dipisahkan oleh laut. Perpindahan air laut dari dan ke Samudra Pasifik – Samudra Hindia, itu terjadi melalui laut yang memisahkan Sulawesi dari paparan Sunda dan Paparan Sahul. Jadi, laut Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil dari dulu sudah ada, dan semakin dalam setelah volume air laut meningkat. Ke dalaman laut Jawa diperkirakan antara 40 – 80 meter. Sedangkan ke dalaman laut di sekitar Sulawesi dan Sunda kecil, bisa mencapai 850 meter. Kapal Selam Naggala 402 tenggelam di laut yang dalam itu, karena sangat mungkin mesinnya tak mampu melawan arus perpindahan air laut dari dan ke Hindia – Pasifik.

Dulu, sungai dari dataran tinggi yang sekarang disebut Pulau Jawa, mengalir ke laut yang mengepung Pulau Sulawesi. Sungai itu mengalir ke arah utara, lalu berbelok ke Timur. Di dataran arah utara, sungai itu bercabang-cabang, banyak jumlahnya, serupa kali, yang kini kawasan di utara itu disebut mantan kali atau Kalimantan.

Itulah Bandung, kawasan sisa Gunung Jayagiri. Eh ternyata, ledakan gunung itu melahirkan anak yang terus membesar, dan seiring dengan laju waktu, anak itu kian membesar, sehingga kembali menjadi undakan yang diberi nama Gunung Sunda atau Gunung Purba. Sekira 51 ribu tahun silam, gunung Sunda/Purba itu meledak lagi, dan makin membuat dataran Jawa yang telah terendam air, dan telah menjadi pulau, ukurannya bertambah lebar.

Dulu, laut Selatan untuk daerah Bandung itu misalnya, ada di kawasan yang sekarang disebut dengan perbukitan Pangalengan, Ciwidey, Gununghalu, dll., namun karena pantai laut selatan itu ter-uruk oleh tanah ledakan gunung Sunda/Purba, menyebabkan pantey terkubur dan menjauh dari ordinat kawasan Bandung, atau seperti yang sekarang kita lihat sebagey pantey selatan Bandung itu berada di kawasan Jayanti, Cidaun, Sindangbarang, Agrabinta.

Ini yang patut kita renungkan, Ledakan Gunung Jayagiri pada 150-an ribu tahun silam, menyebabkan lempengan bumi jadi retak, dan tanah yang berada di atas lempengan pun ikut terbelah. Seiring dengan waktu, belahan tanah itu rapat lagi, tapi jejaknya masih tertinggal hingga sekarang. Nah, jejak belahan itulah kira-kira apa yang disebut dengan Patahan.

Terdapat beberapa patahan di kawasan yang mengelilingi Bandung, dan yang paling terkenal diberi nama Patahan Lembang, yang membentang dari kaki gunung Tangkubanparahu hingga ke Pantey Selatan Jawa Barat yang berada di kawasan Jampang, Sukabumi, serta membentang ke arah Pantey Utara yang berada di kawasan Eretan, Subang. Bila Patahan Lembang yang sedang tidur itu tiba-tiba 'nguliksik' karena secara alamiah ingin berganti posisi tidur, maka gerakannya akan terasa sebagey gempa.

Aku benar-benar hawatir, pada suatu hari Patahan Lembang itu ngigow, lalu mencaci maki orang-orang yang busuk dan kemaruk, maka bencana dan musibah tak tertanggungkan akan terjadi, seperti ketika Krakatow bukan lagi kentut, namun berak dan marah.

Maka puisi, prosa, esay, atau apapun yang bisa disebut sastra, yaitu media pembelajaran, harus memiliki keberpihakan pada dunia pedagogik dan edukatif, atow apa yang disebut dengan falsafah tetralogi pendidikan butir ‘plesetan’: Ing Wardiman Djojonegoro (sastra mesti membuat negara ikut jaya).

Sisa ledakan Gunung Sunda, kemudian menjadi kaldera besar, dan lambat laun menjadi danow besar karena airnya mendingin. Kawah di danow itu tidak aktif lagi. Magma yang masih mau keluar dari bekas Gunung Sunda, beralih ke celah yang lebih kecil, dan membentuk gunung baru di kawasan setengah Utara. Gunung baru yang kecil itulah, yang kini disebut dengan Tangkubanparahu.

Sekira 3500 tahun yang silam, kaldera besar yang kemudian menjadi danow raksasa itu, mengalami kebocoran melalui sebuah celah, sehingga airnya perlahan mengalir menuju laut di sebelah utara. Tanah di sekitar aliran air danau itu lambat laun mengeras, dan itulah yang kemudian disebut dengan sungey Citarum.

Kaldera yang sudah mengering kemudian tampak jejaknya, mengerucut ke arah bawah secara landey, hingga bila dilihat dari atas, akan tampak seperti wajan, yang kadang wajan itu disebut dengan cekungan. Setelah danow purba benar-benar mengering, wajan besar itu kemudian dihuni oleh manusia yang sekarang disebut Urang Sunda. Dulu mah, urang Sunda itu disebut urang Ukur, karena Bandung yang sekarang, pernah diberi nama Tatar Ukur, dengan pemimpinnya yang kesohor bernama Dipati Ukur. (Bersambung).

Jumat, 04 Juni 2021

KABELEJOG ASIH - Bagéan 13

Yasana Queen Erni

13

Lamun Si Sofia teu manggihan di tempat nu dijangjikeun, perlu kitu, dipentog sakalian... ka tempat gawéna. Lamun perlu, pentog  ka imahna. Teu paduli. Batan teu bérés-bérés, mending sakalian. Rék pait, rék amis, éta mah hasilna. Haté anu tagiwur, ngimbas ogé kana cara ngajar. Asa jadi gampang kasinggung. Teu kaop aya budak nu kurang merhatikeun, kacarékan. Sadar sih, teu meunang kitu. Teu profésional. Tapi, kumaha atuh, da teu bisa disumput-sumput, geuning.

Barudak ukur bisa caricing jeung arolo-hok waktu Si Jéjén disentak tarik pisan, gara-gara ngélég waé jeung si Sumarna. Tara-tara kuring suntak-sentak. Tungtungna nu penting, masalah kudu buru-buru diréngsékeun. Barudak siga anu teunggar kalongeun. Kuring asa jadi handeueul. Tuluy ménta hampura, geus suntak-sentak, sora dileuleuyan. Si Jéjén jadi lunguh, teu poréngés teuing.

Waktu anu ditunggu-tunggu datang ogé. Waktuna bubar sakola. Biasana, lamun karék bubar, kuring sok rajeun gogonjakan heula jeung babaturan sakantor, tapi kuring positif rék ngadagoan Si Sofia Foréver, di tempat anu geus ditangtukeun. Jadi ayeuna mah, moal sumpang-simpang heula, moal loba basa-basi.

Geuleuyeung, motor diarahkeun ka tem-pat anu ditangtukeun. Rada deg-degan ogé sih, sabenerna mah. Tapi anu didagoan teu hol waé. Satengah jam ngadagoan, can lol kénéh waé. Beuheung geus sosongéteun. Sajam, teu ngaji-rim. Dua jam, palayan ciga geus teu sabar urang kudu cengkat, soalna kaciri loba batur nu karék datang, nu teu kabagéan korsi. kuring sadar diri. Geus mayar mah, kuring ngaléos, bari mikir kudu kumaha.

Ti mimiti, kuring geus fix, moal maksa Si Sofia Foréver kudu datang. Ngan ukur hayang mecak hungkul, boga haté hanteuna. Tapi mun dipikir-pikir, teu sabar ogé. Geregeteun. Ras inget ka Si Papah, biasana mun geus waktu bubar gawé, sok nelepon. Ieu geus tilu poé, teu nelepon-nelepon. Tapi aya alusna, soalna rék aya rencana megat Si Sofia ka tempat gawéna. Kitu wé meureun, pamaksadan ayeuna mah. Kuring ngagalindeng na jero haté.

Ieu kuring babalédogan, nyampeur ka tempat gawéna. Jarak anu kira-kira dua kiloan ti réstoran tadi, teu matak dijadikeun halangan pikeun mentog Si Sofia. Pabrik bulu mata nu dituju, geus hareupeun kongkolak panon. Cenah, manéhna supervisorna.

Motor dideukeutkeun pisan kana tangkal caringin, nu aya di sisi jalan. Lumayan rada iuh. Kuring ningali jam, geus jam satengah opat. Teuing aya kénéh, boa geus balik, éta mangkeluk. Batan ngadadago, kuring inisiatip rék nanya ka satpam, nu aya di dinya. Wawanianan, kuring asup ka wilayah pabrik éta.

Tempat parkir jang motor, aya di beulah kénca pos satpam, nu kira-kira boga ukuran 3 ka 7 meter. Cét bodas jeung abu, pos satpam téh. Saenggeus deukeut, kuring uluk salam, ka satpam nu aya di dinya. Aya duaan. Maranéhna ngajarawab, anteb pisan.  

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ceuk satpam nu teu maké topi. Kabaca, ngaranna Supriyatna.

"Saya mau bertemu Ibu Sofia..." ceuk kuring.

Ampir wé, rèk nyebutkeun ngaranna maké Foréver. Untung kaburu sadar.

"Sudah ada janji?" cenah, bari néangan pulpén.

"Belum, sih... Tapi ini penting," tembal kuring, nyanyahoanan.

"Kalau begitu, Ibu bisa nunggu dulu di ruangan sebelah," cenah.

Manéhna kaluar ti rohangan satpam, tuluy nitah kuring nuturkeun ka manéhna, sangkan asup ka rohangan stéril, cénah.  Sup kuring asup. Cep, angin asa nyelecep tiis pisan. Angin anu asalna tina AC. Rohangan anu ukuran-nana kira-kira 3 ka 3, ngabogaan AC, korsi pan-jang dua, méja hiji, jeung layar LCD pikeun ngabaturan tamu, nu nungguan saméméh bisa amprok. Tapi lalajoannana lain sinetron. Ieu mah profil ngeunaan pabrik bulu mata wé.

Song, kuring diasongan keretas, siga kuitansi badag, horéng eusina, kuring dititah ngeusian ngeunaan rèk ka saha, aya kaperluan naon, ti mana, teu poho kudu ditanda-tangan. Encan kudu ngeusian kuèsionèr ngeunaan pabrik éta. Duh, mun kawenangan, meni asa hayang nitah tukang loték peuntaseun pabrik, sina ngeusian kuésionér. Mani ku horéam. Mun maci, kajeun muruhan.

Panon lungleng, leungeun ngadégdég. Lapar ongkoh, napsu ka Si Sofia ongkoh, horéam ngeusian ogé. Tapi Batan kuring teu panggih jeung Si Sofia, nya kapaksa ogé digawéan. Satpam nunjukeun aqua gelas anu ngajajar na baki, nu aya luhureun méja panjang. Lumayan. Gep, kuring nyokot hiji. Sedotan bangun ngajak gelut, jeung hésé dicecebkeun kana tutup aqua. Kalah ka keplos deui, keplos deui, miley deui, miley deui. Satpam bangun seuri ditahan. Si kasebelan, mun pareng, mani asa hayang ngalungkeun galon kana awakna.

"Cobi, Bu, ku abdi," cenah, so sweet, bari nyokot sedotan anyar.

Aqua na leungeun kuring dicokot. Gabres, si sedotan tungtungna bisa ogé asup. Song, diasongkeun ka kuring.

"Makasih, Pa..." Satpam ngagelenyu. Terus nyokot gagang telepon. Curukna lincah mencétan nomer.

Kadéngé manéhna ngobrol jeung nu di peuntas. Bangunna mah, ngeunaan kuring. Kuring narik napas rada panjang. Kesel ogé.

"Maaf, Bu, Bu Sofianya lagi ada tamu, kalau Ibu berkenan, silakan Ibu tunggu."

"Berapa lama, Pak... Apa tamunya sudah dari tadi?"

"Wah, saya kurang tahu tuh Bu, tunggu saja. Kebetulan mèmang, belakangan ini Bu Sofia sibuk. Sering keluar kantor juga.

Deg.

Kuring teu genah. Keur kitu, sajorélatan panon nempo mobil nu ngaliwat rék kaluar.  Astagfirullah, apanan éta mobil Si Papah. Kuring anu keur nyedot cai, jadi kaselek. Tuluy batuk.

"Pa, itu Bu Sofia, yang ada dalam mobil itu, kan?" kuring nyarita bari cengkat.

Satpam teu kaburu ningali, ngan pas ditanyakeun ka satpam nu aya di pos ronda, enya cenah, tadi Bu Sofia indit jeung kliénna. Kuring napsu. keretas nu geus dieusian, dirames. Satpam hokcay. Nu maca pipilueun hokcay.

 

***

Kamis, 03 Juni 2021

KABELEJOG ASIH - Bagéan 12

Yasana Queen Erni 

12 

“Maaf, ini sama siapa, ya?" kitu tembal Si Sofia, maké bahasa RI. Padahal kuring nga-WA na maké basa Sunda.

Ngahaja teu ditémbal deui. Hayang nyobaan wé, lamun masih kénéh boga haté, pasti bakal rumasa. Haté sabenerna mah ateul. Hayang ngajawab deui. Tapi ditahan. Teu kungsi 2 menit, torojol deui WA na.

"Saya tidak mau melayani orang yang tidak jelas. Makasih," cenah.

Kuring panas ogé disebut jelema teu jelas. Puguh manéhna nu teu jelas mah. Nya geus ngarebut salaki batur, nya geus ngulinkeun parasaan kabéh. Mani geregeteun ka Si Sofia Foréver. Mun kawenangan, hayang ngajengut buukna. Tuluy sina ngaca. Da ceuk rarasaan mah, beungeut wani ngadu. Pédah meunang di kulit wungkul. Rada caang. Jadi katempona leuwih hurung.

Ari sugan téh, bakal aya deui WA. didago-dago téh euweuh, si kasebelan téh. Ahirna kuring kesel sorangan. Kaduhung teu dicarékan laklak dasar. Tapi, baé kétang, lain tipeu kuring jadi awéwé modél kitu. Kesanna, siga jelema nu teu meunang warahan ti indung bapa. Eumh, teu hayang teuing. Indung bapa nu sakitu mupusti étika, ngajaga agama darigama, difitnah batur.

Lantaran euweuh deui balesan, kuring boga inisiatif jang nangtukeun jadwal panggih. Éta mah, rék didatangan sukur, mun hanteu, kacida. Bari hayang apal, nepi ka lebah mana, boga haté awéwéna. Kukuring dibéré waktu, poé isukan, jam 4 soré di Réstoran tempat manéhna jeung Si Papah panggih. Kagok asong. Salila chat jeung Si Sofia, der kuring kasaréan. Hénpon masih dina leungeun.

Basa kuring lilir, katempo jandéla masih maruka. Panon poé geus mimiti ngampih. Kuring nutup-nutupkeun hordéng. Katempo mobil Si Papah aya. Hartina Si Papah aya di loténg. Keun. Kuring moal ka luhur. Hayang mecak, manéhna bakal ka handap moal.

Kuring ka dapur, niat rék dahar. Asa can kaasupan kadaharan ti isuk. Magic com tutupna muka. Pas ditingali, panci teplonna euweuh. Boraah aya sanguan. Rét ka tempat ngumbah wadah, bener wé, si panci téplon, dikeueuman. Spatula plastikna, ngilu dikeueuman. Lantaran teu kuat lapar, tungtungna kuring kokorotak néang emieh kana laci. Alhamdulillah aya hiji deui. Emieh rasa empal gentong. Sesa nu aya, tinggal bungbu sangu gorèng 2 bungkus, kornét saka-léng, ager swalow globe, kurupuk bawang anu saparapat. Ukur sakitu nu aya dina laci. Gep emieh dicokot, tuluy dipasak.

Teu kungsi lila, emieh geus asak. Saeng-geus di kana mangkokkeun jeung dibumbuan, kuring mawa emih ka ruang tipi. Celebek-celebek  dihuapkeun, bari ngalalajoan film India anu dipe-rankeun ku si Hrithik Roshan. Judulna, Mujhse Dosti Karoge. Teuing kabeneran, teuing kumaha, pas dilalajoan, naha éta film téh asa ngoconan, nyaritakeun cinta pabaliut antara si Hrithik Rosan, anu diperebutkeun ku Si Rani Mukèrjè, jeung si Kareena Kapoor. Bédana, si Hrithik nyangka anu sok susuratan jeung manéhna tèh si Kareena, padahal dina kanyataannana, éta kabohongan nu geus mangtaun-taun. Béda utak-eutik jeung masalah rumah tangga kuring.  Hayang seuri aya, rada ambek aya. Tapi emieh mah ludes.

Nepi peuting, Si Papah can turun kénéh waé. Lamun diinget-inget, salila rumah tangga jeung manéhna, asa can pernah Si Papah nepi kieu. Cuék pisan. Kuring géngsi mun kudu nyalukan. Aya untungna teu borangan teh.

Saenggeus solat, kuring nagen hareu-peun tipi nepi ka kasareannana. Hudang-hudang pas kadenge tarhim. Sora Bah Aja anu khas, karasa noélan awak sangkan cengkat. Tipi masih hirup. Gustiii, aya ku nikmat saré, bari jeung rada cinakdak gé, angger tibra. Awak karasa rada nyareri, maklum saré na korsi sofa, bari jeung teu disimbut. Dibantal gé henteu.

Bari jeung teu garenah awak, teu puguh rarasaan, kuring tetep salat, da ka saha deui curhat nu sabener-benerna mah, ari lain ka Nu Kawasa mah. Bari munajat, mun enya téa mah pareng dipanggihkeun poé ieu jeung nu ngaranna Si Sofia, muga-muga kuring sing dijembarkeun haté. Sing bisa ngomong déwasa jeung manéhna.

Rék gawé, asa horéam. Tapi tangtu em-bung kuring gé dipeunteun goréng ku atasan, masing nepi ayeuna masih kénéh jadi guru honor gé, ari masalah gawé mah, embung dianggap asal. Sok komo tanggung jawab nu kangaranan guru mah, beurat tanggung jawabna. Tapi mun eucreug dilakonan mah, kacida gedé pahalana, geus ngurus anak batur nu kacida loba, jeung rupa-rupa pasipatan.

Sora wéker ngabuyarkeun lamunan. Kuring gura-giru dangdan. Mandi gé asa beresih, asa henteu tadi téh, ari malaweung mah. Haté geus panceg, kuring kudu buru-buru indit. Rék salam ka salaki, asa wegah. Tungtungna, nulis deui waé na sacewir keretas, yén kuring indit gawé. Keretas diteundeun na luhureun meja, nu aya di kamer. Saenggeus tarapti, geuwat kuring indit ka kantor. Sieun kabeurangan.

Nepi ka kantor, kasampak geus loba anu datang. Batur bangun aranèheun ningali kuring anu tara-tara tisasari, datang kabeurangan, bari panon carindul. Kuring ukur bisa api-api teu melong. Pa Haji Tétén, duda anu resep ka kuring ti masih kènèh jaman kuring léléngohan, semu anu reuwas, tapi bangun watir. Kuring teu loba basa-basi. Geuwat ngaléos ka kelas, kasalamet-keun ku sora bél asup.

Rabu, 02 Juni 2021

GUNEMAN SIMPÉ - Sajak Maman, M.Pd.

Naon nu kedah dikedalkeun
cinta
cimata
atawa dosa doraka

nya asih nu wasa nyieuhkeun mongkléng
hiliwir angin ukur ngendagkeun kararas di pipir imah
salangkungna mah simpé
boa-boa piprésideneun, piustadeun, pigurueun
nu medal tina panglawungan rasa
x

METRO MOSKWA - Puisi Benny Benke

Kau boleh membenci Moskwa kerana puluhan alasan. Mungkin macetnya tak ketulungan. Serta satu dua preman kelas kampungan yang gemar merisak persona kulit berwarna. Juga dingin yang menikam hingga dasar tulang.

Tapi ada berbilang-bilang alasan menemukan keindahan di praja tua ini. 

Masuklah ke dalam tanah terdalam, pakansi ke sistem transportasinya. Tempat Metro Moskwa berada. Seketika itu pula, terperangah kau dibuatnya.

Di sini, maha karya seni menemukan rumahnya. Menyempurna, menabalkan citarasa adi luhung kejayaan seni era Soviet lama.

Bukan semata marmer yang mengilap, patung yang agung, mosaik yang asyik, kaca patri yang setiti, lampu gantung yang kirana, relief dasar yang luar biasa, warna warni yang memanjakan mata, dan detail bahari lainnya.

Bahkan simbol Soviet baheula, dengan palu aritnya, malih rupa memesona. Jauh dari kesan angkernya. Membangun sebuah arsitektur puncak tiada sanding, tiada banding.

Ketuklah pintu Park Pobedy di distrik Dorogomilovo, lalu pilih jalur Arbatsko–Pokrovskaya, maka lekas dan pasti kau akan sampai jantung kota di Moskwa. Melewati puluhan stasiun dengan ornamen super memesona.

Lalu mengacaklah. Seperti para tualang, melunaskan kengawurannya, memilih rute mana saja. Ke manapun, asal tidak berpikir pulang.

Sejumlah kawan berpesan, naik saja jalur Sokolnicheskaya, yang mengada sejak 1935. Kawan lainnya menjaminkan tiada keelokan mengalahkan jalur Koltsevaya. Kompatirot sebelahnya berkata, Komsomolskaya, Krasnye vorota, dan Kropotkinskaya, adalah jalur juara. Saking berestetikanya.

Sampai-sampai kita berkata, ini metro atau museum. Metro atau ballrooms. Metro apa galeri seni rupa. Metro apa istana. Kerana saking mahardikanya.

Membuat kita enggan meninggalkannya. Ingin berlama-lama di rumah Metro Moskwa yang raharja.

KRASNAYA PLOSCHAD - Puisi Benny Benke

Ivan Yang Agung pasti tidak pernah menyangka. Lapangan Merah telah malih rupa sedemikian bercahaya.

Meski pada mulanya serupa daerah kumuh, tempat petani papa dan penjahat teri berumah di sana.

Sebelum akhirnya menyempurna. Dengan kehadiran St. Basil’s Katedral, menyusul kemudian the State Historical Museum dan GUM Department Store di belakangnya.

Memperkaya Istana Kremlin Agung di punggung bukit Borovitsky, mausoleum pemimpin revolusi Vladimir Lenin, terpacak digdaya.

Hingga akhirnya ribuan, mungkin jutaan tentara telah berparade dengan gagah dan megah di pelataran dan halaman Krasnaya Ploschad.

Seperti hendak mengabarkan kepada dunia; Kami terlalu perkasa untuk dirubuhkan sebagai negara.

Meski bayarannya, tak terkira. Di masa Ivan the Terrible dan Peter Agung, saja tak berbilang kepala lepas dari badannya. Jika Anda coba-coba memunggungi tahta.

Kini, kami tak lebih dari tempat pakansi yang penuh rona. Loka muda mudi bersua, bercengkrama tentang segala.

Asal jangan berpikir tentang politik dan negara. Kau akan baik-baik saja.


Diambil dari bakal antologi MENGHENINGKAN PUISI

INDONESIA RAYA DI TSARSKOYE SELO - Puisi Benny Benke


Romo Mudji termangu. Ngungun dan haru, saat Indonesia Raya kumandang di negeri tandang.

Di pelataran depan Tsarskoye Selo, sepelemparan waktu dari St. Petersburg, Romo trenyuh hatinya.

"Tak pernah aku seterharu ini, menyimak Indonesia Raya!"

Jarak memang mampu melempar melankoli manusia pada kampung halaman, yang selama ini jarang kita sadari.

Demikianlah Romo Mudji di Desa Para Tsar, desa para petinggi negeri dan bangsawan semasa kekaisaran Rusia berjaya, merehatkan penatnya. Tetirah menyerah pada suasana desa.

Di Tsarskoye Selo, Romo Mudji layaknya para nomenklatur, elite Soviet pada sebuah masa, berpasrah pada Indonesia Raya.

Yang dikumandangkan lima musisi tua dari negeri jauh, dengan sejumlah alat tiupnya.

Puisi ini diambil dari bakal antologi 
MENGHENINGKAN PUISI 
Puisi lainnya dapat disimak di situseni.my.id

HUJAN JEUNG CIMATA - Sajak Maman M.Pd.

Antara hujan jeug cimata
Mana nu langkung rembes nyéboran ati?
Rindat anjeun horéng langkung seukeut
Batan méméncos pedang

Kuring léah basa anjeun kedal ucap
“ulah dianggo guligah manah nya
Abdi tos aya nu gaduh”

Antara imut jeung hihideung panon
Mana nu wasa ngeundag-ngeundag angen?
Haté kuring lir dirérab basa anjeun
Ngaléng itu

Antara bumi jeung langit
Saha nu langkung sabar nandangan rasa
Kuring tamaha
Horéng jodo leres urusan gusti


Sajak kahiji tina 99 sajak, nu baris enggal medah dina antologi HAREWOS LENGKOB

Selasa, 01 Juni 2021

KABELEJOG ASIH - Bagéan 11

Yasana Queen Erni

11

Pa Irfan anteng ngoérhan sumsum ku séndok. Am... Am, dihuapkeun. Tungtungna kuring pipilueun jadi kana balung. Niat sangu meunang mesen mah, rék dibungkus wé. Bener tukang dagang téh, bisaan. Balung gurih, tapi teu matak leneng. Pa Irfan ngésang. Sumanget pisan daharna.  Kuring tadina rék ngasongkeun tissue, tapi bolay. Kahiji, sieun pajar so sweet’. Kadua, sieun aya nu moto. Jadi inget kalakuan tadi, basa kuring mutrat-motret batur, der kéh jadi fitnah. Katiluna mah, bisi pimatakkeun. Pangpangna mah, lain salaki sorangan.

Keur anteng nyaliksik balung, na bet ras ka Néng Sari. Asa sieun ujug-ujug datang ka dieu. Kacipta olohokna meureun, nempo kuring sameja jeung salakina, atawa aya batur, anu teu ngahaja melong kuring keur paduduaan. Atawa bisa waè, Si Papah balik deui, terus malikeun kaayaan. Beu!

Bangunna Pa Irfan maca géstur kuring nu teu puguh.

"Ibu badé sareng atuh uihna, sareng abdi?"  manéhna muka obrolan.

Kuring nolak, alesan mawa motor. Teu disangka-sangka, teuing meumpeung panggih, teuing kumaha, ana derekdek tèh Pa Irfan curhat. Kuring ukur bisa ngadengekeun, bari sakali-sakali ngelapan biwir ku tissue.

Pa Irfan teu heureuy, katempo panonna aya caian. Bangun matak sedih nu ditahan. Nyari-takeun kalakuan pamajikannana, nu begèr deui. Ku aralna téh, lain anu mimiti. Rék disèrahkeun, lain matak pihadèeun cenah, sok komo geus boga budak nu geus SMA. Embung.

Kuring gé, teuing kabawa ku suasana, teuing pèdah Pa Irfan curhat, sarua, ngaderek-dek curhat kalakuan Si Papah. Padahal geus ditahan-tahan, sangkan masalah teu betus ka batur. Teuing asa aya batur, sugan.

Pa Irfan olohok. Sigana teu nyangkaeun, kahirupan kuring sarua kusutna. Kuring oomatan, sangkan Pa Irfan bisa neundeun rusiah. Manéhna ngayakinkeun, yén manéhna bakal bisa ngajaga rusiah duaan.

Saenggeus bérés ngobrol, jeung ménta dipangmungkuskeun sangu nu teu kungsi ditoél, kuring amitan rék tiheula. Pesenan dipangmayar-keun ku Pa Irfan. Rada ngemplong ogé geuning, ari geus ngabudalkeun sakabèh kateungeunah haté mah.

Sapanjang jalan, kuring sumanget, rék ngabongkar kalakuan Si Sofia ka Si Papah. Komo bari jeung aya bukti di leungeun mah. Asa piraku manèhna teu sadar. Haté ngemplong. Aya hasilna ogé panalungtikan dadakan téh. Jalanan anu biasa macét, asa méréan, ngaremplong.

Motor lumpat gancang tur mulus nepi ka imah. Mobil Si Papah geus nyampak. Rada deg-degan ogé, sabenerna mah.

Pas muka panto, kasampak si Papah keur nyepengan hénpon. Bangunna keur kontékan. Kuring tenang asup, bari uluk salam. Si Papah ukur ngarérét saeutik, bari nuluykeun konsén kana hénpon. Niatna rék solat heula, satadina mah. Tapi teuing kumaha mimitina, kuring bet ujug-ujug pok ka Si Papah, ngeunaan Si Sofia. Si Papah teu tarima. Boraah jadi sadar.

Saméméh kuring nempokeun foto-foto keur barang bukti, Si Papah kaburu ngabelecir ka loténg mantèn. Kuring teu bisa kukumaha, ngan ceurik jeung ceurik tungtungna mah.  Rék bébéja ka kolot, ah, lain picaritaeun. Lain kadua jadi pialuseun, malah bisa jadi kolot gering pipikiran. Urang-urang kènèh anu ripuh tungtungna mah.

Geus wé ayeuna mah, cekelan rusiah, masing geus bocor ka Pa Irfan gé. Tapi rarasaan mah, manéhna bakal bisa ngajaga rusiah. Komo manéhna gé pan aya rusiah di kuring, moal mungkin macem-macem. Barina gé, jarang aya lalaki nu biwirna émbér bocor.

Batan ngungudag salaki anu dayus, tung-tungna kuring cicing di handap. Kuring iseng muka pesbuk dina hénpon. Sugan aya aktivitas si Papah. Ngahaja si Papah dijadikeun "teman dekat" dina pesbuk kuring, meh kabéh aktivitas manéhna kakontrol, lantaran sakabéh kagiatan nu dilakukeun ku Si Papah, bakal aya notifikasina kana pesbuk kuring.

Klik.

Bérébét notifikasi aktivitas si Papah kata-rima. Euweuh nu anéh. lolobana ditag ku batur. Lalaunan layar hénpon di scroll, ...bener can aya anu anèh. Tapi... ké... ké... kuring rada panasaran, tina sakabéh notifikasi, aya hiji nu nyengceling. Si Papah méré komén ka na foto awéwé. Bener wé, pas di-klik, éta Si Sofia tea, awéwé anu tadi.

Geulis pisan dina foto mah. Teuing maké kaméra 360, teuing cahayana anu pas. Kuring panasaran, ngaklik koméntar nu ngan ukur 7 urang. Si Papah ngomén pangheulana. Ukur dua huruf. SF. Kuring langsung ngahartikeun yen SF teh, Sofia Foréver téa. Gancang kuring ngacak-ngacak dinding pesbuk si Sofia Foréver. Pang-pangna mah, tempat gawéna, atawa alamat imahna.

Geus ampir kabéh discroll, tapi euweuh hasilna. Terus kuring balik deui, poho teu lang-sung muka profilna.

Kapanggih ogé tungtungna mah. Manèh-na gawé di pabrik bulu mata, jadi supervisor. Lumayan, rada jauh ogé mun dijugjug ku motor. Bisa sajam leuwih. Kuring ngasupkeun nomèr hènpon nu aya dina profil. Teuing masih aktif, teuing geus lapur. Maklum pesbuk mah bisa waé nomer nu heubeul. Ieu mah itung-itung baba-lèdogan wé... Mun masih kénéh aktif, nya sukur, mun geus teu aktif gé, nya wilujeng.

Iseng, kuring ngirim WA ka Si Sofia. Foto diganti heula ku gambar nu umum. Kuring makè gambar kembang anggrek, ngarah universal.

Kuring teu loba api-api, teu loba basa-basi, nga-WA hayang panggih jeung manéhna. Dua mata kahayang na mah. Lila ogé ngadagoan dibalesan téh. Tapi teu kungsi 30 menit, WA kuring disada. Haté ngadégdég.

 

***