Penerbit SituSeni: QEEN
Tampilkan postingan dengan label QEEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label QEEN. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Mei 2021

BONEKA KAYU ATANG - Cerita Anak


Oleh Queen Erni

MINGGU pagi itu, Atang bergegas menuju ke Kebun Raya, dengan naik angkot bercat hijau. Ia sudah biasa dengan bawaan keranjang cukup besar. Di dalam keranjang anyaman bambu itu, ada sejumlah wayang golek.

Di sekitar pintu masuk Kebun Raya, sudah ramai. Beberapa orang  menggelar dagangan-nya. Hampir semuanya oleh-oleh khas Kota Hujan, yang berada di sebelah selatan Ibukota negara. Ada cinderamata, aneka mainan, mobil-mobilan, sampai wayang golek. Ada yang jualan makanan, seperti asinan buah pala, talas, bengkoang, dan alpokat.

Atang pun memajang wayang golek buatan ayahnya. Kali ini ia jualan sendirian. Ayahnya sedang kurang sehat, karena semalaman harus menyelesaikan hiasan wayang-wayang golek pahatannya. Dicat dengan hati-hati. Terutama bagian wajah, dan mata. Agar tampak indah, dan mudah dikenali sebagai tokoh pewayangan. Termasuk tokoh-tokoh bebodoran. Terutama untuk tokoh Cepot yang terkenal itu.

“Semoga hari ini laris, Atang,” doa Ayah.

Anak kelas enam yang hampir ujian SD itu, selalu ingat pesan Ayah. Terutama kalau ia berjualan sendirian pada hari Minggu. Hari di mana lebih banyak pengunjung ke Kebun luas, dan banyak pohon suah tua. Mereka yang berdatangan, bisa menikmati pohon-pohon besar, berumur puluhan tahun. Ada yang berusia lebih dari seratus tahun. Pengunjung banyak yang duduk di kursi, yang tersedia tepi telaga, yang dihiasi teratai besar. Ya, sambil memandang ke arah Istana Bogor yang bertembok putih, yang berada di sisi barat.

“Ayahmu tidak jualan, Atang?” tanya Kang Karta, penjual balon yang sebaya Ayah. Ia kadang menenteng jualannya, memburu pengun-jung, seraya menawarkan balon aneka warna. Apalagi kalau ada anak kecil.

“Semalam  lembur, Kang. Jadi siang ini nebus tidur,” jelas Atang, sambil mengerjakan kayu sebesar jari orang tua. Ia kerap membuat bentuk-bentuk lucu, dari ranting kayu, saat menunggui dagangan wayang golek buatan ayahnya.

Kang Karta tertawa. Lalu ia berjalan menawarkan dagangannya. Atang tetap men-jagai wayang golek. Ia selalu kagum dengan wayang buatan ayahnya. Selain halus, juga dihias secara menarik. Terutama wajah tokoh-tokohnya. Yang perempuan tampak cantik, dan yang laki-laki begitu gagah. Atau tokoh lucu, yang terkenal sebagai punakawan: Gareng, Petruk, Bagong dan Semar. Tokoh dalam dunia pewayangan yang kerap muncul di layar televisi, meski ia tak mengerti bahasa Jawa.

“Yang ini berapa, Dik?” seorang wanita cantik, memegang tokoh wanita: Srikandi.

“Murah, Bu,” jawab Atang, sambil menyebutkan angka.

Ibu itu manggut-manggut.

“Boleh kurangi sepuluh ribu, Dik?”

Atang berpikir cepat. Harga itu sudah cukup memadai. Harga yang selalu diberikan ayahnya.

“Baiklah, Bu.”

Wanita berkacamata besar itu, masih melihat-lihat wayang-wayang golek buatan Ayah. Cukup banyak tokoh wayang, yang dibuat orang tuanya, yang hanya selesai sekolah hingga SMP. Ayah selalu menghendaki anaknya bersekolah lebih baik. “Orang memuji ayah, karena bisanya ayah hanya ini. Bisanya mem-buat boneka wayang. Kalau soal pengetahuan, kalah sama kamu anak-anak sekarang,” tutur-nya selalu, kepada Atang.

“Tapi Ayah tetap hebat,” pujinya.

“Kamu harus lebih hebat.”

“Ya, Ayah. Atang janji.”

Ucapan ayah tidak bohong. Karena Atang juga, bisa menjadi pemahat kayu yang baik. Buktinya, Ibu pembeli wayang Srikandi, ia beralih memperhatikan orang-orangan dari akar kayu, buatan Atang. Bentuknya unik dan lucu. Warnanya, warna kayu.

“Kalau ini dijual, Dik?” tanya wanita, yang belum membayar wayang Srikandi itu.

“Mmm … sebenarnya….”

“Saya minat.”

“Oh ....”

“Berapa harganya?”

Atang gelagapan. Namun ia segera berpikir cepat. Dan ia pun menyebutkan angka, untuk boneka dari cabang dan ranting kayu itu.

“Ya, tidak mahal, Bu. Sama Ibu yang sudah membeli Srikandi, dua puluh lima ribu rupiah saja.”

Ibu pembeli yang baru turun dari mobil itu, tertawa. Ia ditemani seorang anak wanita berkulit bersih. Rambutnya diponi mirip kuda.

“Pintar jualan juga kamu, ya.”

“Aaaah ...”

Atang senyum-senyum.

”Sudah, dua puluh. Jadi genap dengan Srikandi. Seratus lima puluh.”

Atang setuju. Ia pun membungkus boneka kayu itu, dengan hati-hati. Ya, ia benar-benar kaget. Karena boneka buatannya ada yang menyukai. Tepatnya, ada yang membelinya.

“Ayah, Atang pun sekarang bisa menjual buatan Atang,” desisnya bersyukur, setelah pembeli itu ditarik-tarik seorang gadis cilik yang menemaninya. Gadis bertahi lalat yang menarik. Apalagi berkacamata. Seperti anak yang gemar membaca.

***

Bu Sukanti berdiri, di ruang kelas enam SD Kapten Muslihat, sambil membersihkan tangan dengan bertepuk-tepuk. Anak-anak duduk dan siap pulang. Bel tanda pelajaran akan berakhir beberapa menit lagi.

“Sebelum pulang, Ibu akan memberi tugas untuk kalian….”

Terdengar dengung seperti lebah.

“Seminggu dari sekarang, berarti Sabtu depan, kalian menyerahkan hasil prakarya atau hasta karya. Boleh membuat apa saja.“

“Bahan dari kertas, Bu?”

“Boleh.”

“Lilin?”

Bu Sukanti tertawa.

“Ya, apa saja boleh. Yang penting, buatan sendiri.”

Atang segera dikerubuti teman. Mereka bertanya kepada anak itu. Beberapa tiba-tiba ingin bermain ke rumahnya.

“Ya, buat saja yang kalian bisa.”

Anak-anak perempuan itu jadi bertambah penasaran. Ingin diberitahu membuat apa dari Atang, yang dikenal biasa membuat mainan.

“Huh …!” dengus Andri, dari jarak tak terlalu jauh. Ia anak baru yang selalu suka pamer dengan barang-barang yang dimiliki. Kadang membawa mainan robot-robotan. Atau mobil dengan pengendali jarak jauh, remote control.

“Kenapa, Dri?” tanya Agus, yang berjalan melewati pintu Ruang Kelas, yang kemudian ramai celoteh anak-anak. Sebelum bubaran.

“Memangnya cuma Atang yang paling hebat di sini?” tanya Andri. “Aku juga bisa membuktikan. Lihat saja nanti.”

“Tapi ....”

“Ala, kamu juga tak percaya?”

Agus nyengir. Ingin ia menyela. Namun percuma. Apalagi ia tak mungkin membantah kepada Andri, yang suka meminjami mainan mahal kepadanya.

***

Sabtu siang itu pelajaran akhir. Bu Sukanti sudah memajang hasta karya anak-anak kelas 6. Anak-anak itu berceloteh, karena sebentar lagi, Ibu guru akan mengumumkan hasil peker-jaan tangan mereka. Hasta Karya.

“Punyaku, yang paling unik. Pasti paling …!”

“Sombong kamu!” sungut Tita.

“Eh, lihat saja!” kata Andri.

Bu Sukanti memberi peringatan. Agar anak-anak tenang.

“Karya kalian bagus-bagus,” kata Guru yang mengenakan baju batik motif Cirebonan.

“Punya saya yang paling bagus, kan Bu?” sela Andri dengan suara lantang.

“Yaaaa … lihat saja.”

“Pasti, Bu.”

Bu Sukanti tersenyum.

“Naaaah ...!” seru anak pindahan itu bangga. Seolah-olah senyuman Bu Sukanti, sebagai pertanda membenarkan, kalau karya Andri paling bagus.

“Sekarang, tenang!” guru itu mengangkat tangannya.

Keadaan jadi senyap. Mereka berdebar-debar. Menati penilaian Bu Guru yang sering mengajak jalan-jalan para murid. Terutama kalau mereka diminta untuk mengarang. Tempat yang sering dikunjungi, ya Kebun Raya.

“Kita sering-seringlah belajar pada alam,” katanya suatu hari. “Kenapa?”

“Karena alam ciptaan Tuhan ....”

”Wahyuningsih benar!” sebut Bu Sukanti. “Ada jawaban lain?”

“Biar mencintai lingkungan kita!” acung Supriyadi.

Wanita itu tersenyum. Tangannya yang terbuka, diangkat tinggi-tinggi. Pertanda ia senang dengan murid-muridnya yang cerdas.

“Kalau Atang?”

Mendapat pertanyaan mendadak, anak kurus itu gelagapan.

“Saya ... saya suka kayu-kayu untuk dibuat ....”

“Mainan?”

Teman-teman tertawa. Atang hanya bisa garuk-garuk kepala. Bibirnya senyum-senyum. Ah, ia memang pemalu.

Sekarang Bu Sukanti menilai prakarya siswa-siswanya. Satu-persatu ia memberi nilai hasil pekerjaan tangan anak kelas enam itu. Termasuk asbak kayu buatan Atang. Hingga sisa satu, dan ternyata itu milik Andri.

“Ini unik, dan bagus ….”

“Punya saya, Bu!” Andri berdiri dengan dada dibusungkan. Pandangannya diedarkan ke seluruh ruang kelas. Seperti ingin membangga-kannya.

“Oooh …!”

“Bagus, kan Bu?” tanya anak pindahan dari Jakarta itu.

“Sangat!” kata Bu Sukanti, sambil mengangkat boneka atau orang-orangan dari ranting pohon.

Andri pun mengangguk-angguk sombong.

“Ini buatan kamu sendiri, Andri?”

Anak itu tidak langsung menjawab.

“Ya, iya, Bu. Kan sudah diberi nama. Juga tidak ada yang tertukar?” katanya sambil menoleh ke teman-teman sekelas.

“Baik.”

“Nah, iya kan?” kata Andri lagi. Wajahnya tampak cerah. “Kalau perlu, karyaku itu dipajang di sekolah ini. Sebagai tanda ….”

“Tidak, Andri!” potong Bu Sukanti.

“Kenapa, Bu?”

“Karena ini bukan hasil perkerjaanmu.”

Andri kaget. Wajahnya berubah tegang.

“Kok?”

Bu Sukanti tersenyum. Ia memegang boneka itu, dan mengangguk-anguk. Seperti memuji, kalau hasta karya Andri itu benar bagus.

“Apa buktinya?” tanya Andri tak sabar.

Bu Sukanti meminta Andri maju mende-katinya. Anak itu pun menuruti. Meski ia mulai berdebar-debar. Apalagi teman-teman semua menatap ke arahnya. Tak berkedip.

“Kau perhatikan bagian penampang akar kayu ini,” pinta Bu Guru itu.

“Ya. Ada apa, Bu?” anak itu makin gugup. Keringat dingin pun tak bisa ditahan.

“Apa yang kaulihat?” tanya Bu Guru, pelan.

Andri memperhatikan. Namun ia kemu-dian menggeleng. Karena tak mengerti.

“Belum tahu?” cecar Bu Sukanti.

Andri tak bisa mengangguk. Ia menggeleng. Walau pelan sekali.

“Di situ simbol seperti hurus AS yang digandeng,” Guru wanita itu berkata pelan.

Andri menelan ludah. Ingin membasahi tenggorokkannya yang tiba-tiba kering. Ya, kering seperti ranting pada musim kemarau.

“Mmm ….ya,” aku Andri, akhirnya. Tak mungkin, ia tak membaca apa yang diminta Bu Sukarti.

“Pasti, Andri. Karena itu adalah nama depan dari Atang Sumarna. Teman kita yang tiap hari Minggu berjualan wayang golek buatan ayahnya, di Kebun Raya.”

Andri menelan ludah lagi.  Kali ini keringat pun mengucur, membasahi dahi lebarnya. Ia segera teringat ketika mamanya pulang dari Kebun Raya bersama Fani, pulang membawa wayang Srikandi dan boneka kayu yang lucu bentuknya. Dan Andri yang tidak ikut ke Kebun Raya itu, membawa boneka itu sebagai buah karyanya. Memenuhi tugas dari Bu Sukanti seminggu lalu. Sebagai hasta karya.

“Yang perlu kau ketahui, Andri.’

Andri hanya mampu mengangkat kepa-lanya sebentar. Tak berani menatap ke arah gurunya, yang bersuara bagus seperti penyanyi terkenal kelahiran Bogor, Vina Panduwinata.

“Ya, Bu,” desisnya sangat pelan.

Bu Guru itu tertawa pelan.

“Lebih dari tiga buah hasil keterampilan Atang disimpan di sekolah ini,” kata Bu Sukanti lagi.

Andri hanya bisa menunduk malu. Kali ini ia diam.

“Ngakuuuu …lah anak sombong!” seru beberapa anak perempuan.

Andri manalah mungkin berani menjawab. Tidak seperti hari-hari kemarin. Suka mengejek anak-anak perempuan itu.

“Jadi, boneka itu dari mana, Andri?” tanya Tini yang pernah diejeknya.

Sama seperti tadi, anak itu diam saja. Sama sekali tak berani menoleh ke arah mereka.

“Sudahlah!”

Bu Sukanti memberi peringatan kepada anak-anak.

“Ia sudah mengakuinya. Itu yang penting. Jujur itu ....”

“Haruuuuus ...!” sambut anak-anak.

Lalu terdengar tepuk tangan meriah.

Beberapa anak sekarang menoleh ke Atang. Anak itu pun hanya bisa menunduk. Hatinya berbinar-binar.

 

***

 

Cerita anak ini telah diterbitkan dalam bentuk buku bersama 4 judul cerita anak lainnya. Berminat mengoleksinya, cek di tokoko/situseni, cari menu TOKO ONLINE SITUSENI

Rabu, 26 Mei 2021

KABELEJOG ASIH - Bagéan 7

Yasana Queen Erni


7

Lantaran hénpon ngirining waé, tungtuna mah kuring jadi  panasaran ogé.

"Bu Sofia, pami Sari, masih kénéh sareng ibu?"

Deg.

Kuring reuwas, lantaran, Néng Sari can balik. Ahirna, terus terang ka Pa Irfan, yén pama-jikannana titadi gé geus balik. Pa Irfan teu loba tatanya. Geus ngadangu jawaban ti kuring, gan-cang manéhna nganuhunkeun. Kuring ngahu-leng. Aya rasa sieun, Néng Sari nakal ngambek. Tapi kuring tara biasa ngabohong. Sok saayana. Tungtungna pasrah. Éta mah, Néng Sari rék ngambek heug, teu kajeun. Komo kaayaan rumah tangga sorangan gé, keur kieu. Boraah mikiran batur. Teu ngaengké-engké deui, kuring langsung ka cai, tuluy abdas. Hayang tiis pipi-kiran. Ari kaayaan kieu mah, salat gé sok jadi leuwih husu. Bener, wé... haté jadi leuwih tenang, tingtrim.

Waktu geus nunjukkeun kana angka 9 peuting. Si Papah can balik kénéh waé. Ditelepon, teu diangkat, di WA teu malesan. Tapi aktif. Imah gé tungtungna mah dikoncian. Hordéng narutup. Teuing kudu kumaha deui. Pas keur ngalamun bari lalajo tipi, sora klakson mobil disada. Tapi lain mobil si Papah. Kuring noong bari muka hordéng ku curuk. Katempo Néng Sari muka pager. Kuring buru-buru muka konci. Tuluy neu-teup Néng Sari.

"Téh, abdi badé ngéndong, nyaaa... wengi ieu wungkul."

Kuring teu ngajawab. Leungeun Néng Sari dibetot, sangkan diuk dina korsi.

"Aya naon, Néng... Asa ku rareuwas."

"Biasa, téh... éh, tadi di jalan asa ninggal Si Bapa, sugan téh sareng Tétéh. Matakna, Néng nglaksonan. Tapi pas ngalieuk, sanés Tétéh, ning.

Leketey, haté karasa ngaleketey. Saba-baraha detik mah, beungeut karasa beureum. Panas. Gancang kuring nyaluyukeun kaayaan.

"Enya, nuju nganteurkeun kapi rayina," kuring nutupan.

"Janten, kumaha, Téh, wios ngéndong, nyaaa..."

Kuring ngarénghap.

"Tapi, teu aya masalah, pan Sareng Pa Irfan? Sualna, tadi anjeunna nelepon."

"Aduhh, telat atuh abdi ka dieuna... terus, Tétéh ngawaler kumaha?" ceuk Néng Sari.

"Hampura atuh, da Tétéh mah tara bisa ngabohong."

Néng Sari teu ngambek. Rumasa salah, meureun. Tuluy cicing. Tapi kuring jadi karunya, tibatan saré di hotél, atawa liar teu puguh, leuwih hadé diampihan. Tapi na jero haté, kuring rék bébéja ka Pa Irfan, yén pamajikanana aya di dieu, jadi moal melangeun. Katambah kuring euweuh batur.

"Nya entos atuh, Néng, mobilna lebet-keun ka buruan, ngahalangan angkot," ahirna kuring méré ijin ogé.

Néng Sari teu sirikna ngagabrug bakating ku atoh. Kuring ukur seuri leutik.

"Néng, gentos acukna ku daster, nya..."

Néng Sari ukur unggeuk.

Kuring nyokot daster na lomari. Teu weuteuh, tapi weweg. Warnana pulas toska, jeung beureum sahéab. Cocok keur Néng Sari mah, da kulitna beresih. Kuring nyodorkeun daster, bari  nunjuk kamer tamu, sina salin di dinya.

Pas Néng Sari kaluar ti kamer tamu, kirining hénpon disada deui. Neng Sari ngadeu-keutan, bari ngomong euweuh soraan.

"Ti suami Tétéh?"

Kuring gideug, bari malikkeun hénpon deukeut beungeut Néng Sari. Pas maca saha nu nelepon, manéhna rada panik.

 

***

KABELEJOG ASIH - Bagéan 6

Yasana Queen Erni

6 

Sofia Foréver.

Sofia, semenjak aku mengenalimu lèwat Raharjo, demi Tuhan, aku tidak bisa berpaling dari kerlingan matamu. Indahnya senyummu. Demi, akan kutoreh namamu di langit sana, agar tak seorang pun dapat menghapus jejak cintaku padamu. Kaulah gadis yang tidak akan kulupakan seumur hidupku. Memang dulu aku orang yang tak punya, dan kau tak mau itu. Namun, akan kubuktikan sekarang, bahwa aku mampu membahagia-kanmu: Kaulah cinta matiku!

***

Panon teu ngiceup, nempo jéjéran kecap nu bener-bener jadi cucuk na dada. Nyeri. Karasa raheut, sabab si Papah geus kamalinaan. Ieu lain heureuy. Béda. Ieu bener-bener tulus tina jero dada. Cipanon mimiti muruluk, ngabanjiran pipi. Komputer anu rék dipareuman, bedo di offkeun. Keclak cipanon, keuna kana leungeun si papah.

Teuing karasa baseuh sugan, ana koréjat téh si Papah hudang. Tuluy ngarasa bingung lan-taran nempo kuring rambisak. Can sadar jigana mah.

Haté beuki asa kagerih. Na ari kocéak téh kuring ceurik tarik pisan. Bari nganaha-naha ka Si Papah, bet bisa kitu. Ieu lain heureuy. Kuring can apal carita Si Sofia, babaturan kuliahna anu kabe-neran ngaran hareupna, sarua jeung ngaran kuring. Ari sugan téh éta tulisan jang kuring. Jadi, salila rumah tangga, manéhna mah kaobsésian hayang kapimilik. Sofia babaturan kuliahna. Sofia anu mawa dendam pikeun ngabuktikeun tékad si Papah, nepi ka kiwari. Sofia anu kudu dipimilik. Kuring jejeritan.

Teuing aya sétan naon, si Papah lain kadua ménta hampura, malah ngadon ngaben-tak ka kuring. Kagok asong bangunna mah. Da rék teu ngaku, apaleun kuring nyaho karakter manéhna. Tungtungna jadi hoghag. Can pernah kuring paséa modél kieu. Sok komo bari pasentak-sentak. Si Papah ngaku, yén manéhna mémang masih kénéh neundeun harepan, malah  manèhna bisa ngabuktikeun, yén bisa ngabag-jakeun.

"Maksud Papah, Mamah rék diduakeun?" kuring neuteup, nantang.

"Nya mun Mamah embung didua, urang cag nepi kadieu." Si Papah wawanian ngomong kitu.

Kuring neuteup seukeut. Inget ka nu jadi kolot, lamun keur ambek, tong nyieun kaputusan. Moal balég. Na jero haté, kuring istigfar.

"Ari Papah sadar, wani kitu ka Mamah?" kuring ngaleuleuyan.

Si Papah teu langsung ngajawab. Ngadon ngaléos. Kuring asa diulinkeun. Bakat ku keuheul pagalo jeung napsu, kuring ngadudut kaosna. Awak Si Papah rada ngojéngkang, kabetot. Manéhna jadi pipilueun napsu. Leungeun kuring diképéskeun. Kuring ceurik, tapi teu kokocéakan, sadar, éra ku tatangga. Si Papah ngaléos, turun ka handap. Haté remuk lir ditutuhan ku halu. Batin jumerit ka nu kawasa.

Awak karasa manasan. Ngadadak mu-riang. Kuring ngalempréhkeun manèh dina kasur nu aya gigireun komputer. Panon narawang. Rét kana pigura nu ngagantung dina témbok. Foto kawin. Rét kana foto Si Papah, asa karék kaciri, imutna bangun dipaksakeun. Lain imut bagja. Panonna semu neundeun kabohongan.

Ya Rabbi, na kuring bet tiasa kabelejog kieu. Hartina, salila rumah tangga téh, Si Papah mah, bororaah "nganikmatan" ka nu ngaranna bagja lalaki rabi. Da geuning, haténa mah masih montél ka Si Sofia, babaturan kuliahna tea. Awak beuki panas, ngadég-dég. Rék disarékeun, tapi panon ngadadak teu bisa diajak kompromi. Sirah rieut, beurat. Kuring peureum, bari haté mah ceurik balilihan. Saeutik-saeutik, kuring mimiti ngumpulkeun pangacian, jang nginget-nginget saha waé babaturan si Papah teh. Sugan jeung sugan, bisa nulungan. Sahenteuna, nu mana jeung di mana, nu ngaranna Si Sofia téh.

Pipikiran langsung inget kana pesbuk. Iwal éta nu bisa nulungan kuring, keur saayeu-naeun mah. Tapi da Si Papah mah, rarasaan teh, tara pesbukan. Rada hésé oge mun rék ngala-cakna. Ieu mah susuganan wé. Atuh mun teu kapanggih Si Sofia na gé, sugan babaturannana.

Enya, geus panceg rék nalungtik Si Sofia liwat pesbuk heula, tapi moal ayeuna. Ayeuna mah, kuring rek sujud ka nu Maha Cinta, rék jajaluk, sing ditenangkeun haté, sing tiis pikir. Sumerah.

Kuring cengkat, bari maksakeun manéh. Sirah karasa kénéh enyud-enyudan. Jrut, kuring turun ti loténg. Si Papah euweuh. Rét ka luar, kasampak pager muka. Horéng mobil dibawa. Kuring saukur bisa ngusap dada. Istigfar.

Hénpon ngirining. Geuwat kuring muru sora. Hénpon dina tas, dicokot. Ningali ngaran anu nelepon. Pa Irfan. Kuring bingung, antara telepon dijawab, atawa moal. Éra, soalna sora pasti bakal kadéngé urut ceurik.

Hénpon ngirining deui.

Masih ti Irfan.

***

KABELEJOG ASIH - Bagéan 5

Yasana Queen Erni 

5


Robi..." éta borondong téh nyolongkrong-keun leungeunna, ngajak sasalaman bari unggeuk sopan.

"Bu Sofia," témbal kuring.

Ngahaja maké kecap "Bu", ngarah aya wibawa, hareupeun manéhna.

Gék kuring diuk, hareupeun si Robi. Néng Sari gigireunnana. Teu pati rapet teuing sih, ngan angger géstur awakna, aya kadeukeutan husus. Leungeun Robi jeung leungeun Néng Sari, paantel luhureun méja. Kuring teu loba omong. Geus api-api nyo'o hénpon deui waé.

Iseng ningalian status salaki dina WA. Angger, teu ubah ti baheula.

Sofia Foréver.

Kuring ngarénghap napas. Ngemplong ogé. Sahenteuna, ngaran kuring tara diganti-ganti. Cukup heula anan sakitu gé.  

Sora Néng Sari, kadangu mani manja. Si Robi bangun nu heueuh perhatian. Manéhna nyedot roko, mani anteb pisan. Leungeun katuhuna nyepengan korsi, nu didiukan ku Néng Sari. Awak Néng Sari rada nyangigir, nyangha-reup ka Si Robi. Panon maranéhannana remen paamprok. Kaciri aya geter-geter. Biasa, nu keur kaawuran êcéng.

Palayan nyampeurkeun, tuluy nanya rék pésen naon. Kuring milih nasi timbel komplit. Néng Sari nurutan. Robi ogé. Sugan ari nga-habek timbel mah, teu sareukseuk teuing ningali pamandangan hareupeun. Enya kasép si Robi téh, tapi bangunna tukang ngamangpaatkeun ibu-ibu anu kasepian. Tapi teuing kètang. Kuring anteng ngilikan pameunteu si Robi.

"Mangga, Bu... ieu pésenanana... timbel komplit tilu, és téh manis 3," ceuk palayan, daria.

Geuwat kuring nyokot timbel bagéan, tuluy nu dua, disodorkeun ka hareupeun Néng Sari, sangkan gera didalahar. Hareudang ogé jadi kambing congé téh, ning.

Bener wê, Néng Sari jeung Si Robi langsung nampanan. Si Robi cecelebekan pisan. Teuing ngeunah, tapi bangunna mah lapar. Daharna gancang pisan. Kuring mah, biasa wé, tapi kurang dirasa. Maklum asa tara biasa nganteur anu keur ngembangkeun tali katrésna.

Bérés dahar, kuring nga-WA Neng Sari, sangkan tong lila teuing, api-apina, si Papah geus nitah balik. Néng Sari nyanggupan. Saméméh balik, manéhna haharéwosan ka si Robi. Si Robi pamit. Kuring ukur unggeuk.

"Saha, Nèng... cidaha, sanés... mani siga si Chico Jéricho?" kuring mancing, api-api nyarita semu kagum.

"Hahahahhah, biasa téh tamba kesel. Bageur, perhatian.... teu cara suami, ning." tembalna. Panonna anu cureuleuk, jadi semu alum.

Tah... tah... geuning, enya wé kabogohna. Sedil ngadengena.

"Kumaha mun kapendak ku Pa Irfan, Néng?"

"Ah, moal téh, da ayeuna mah Insyaallah rékép," tembalna, tiis.

Beu... éta kecap Insyaallah, dipaké jang ngaréképan nu kitu patut... hartina, saméméh ayeuna, manéhna kungsi atuh ari nyebut kitu mah. Kuring can bisa loba omong. Ukur bisa ngusap dada na jero haté, nepi ka hareupeun imah.

Waktu asup ka imah, kuring teu mang-gihan si Papah di ruang hareup. Bari nguculkeun tiung, kuring ulak-ilik kana kasur. Tétéla, euweuh. Belewer, ciput jeung tiung dibelewerkeun, kana karanjang héjo, handapeun kaca toliét. Pana-saran ogé, térékél kuring ka loténg. Tangtu si Papah keur aya di ruang gawéna. Ruang kom-puter anu ngahaja diteundeun di loténg, ngahiji jeung buku-buku anu ngabubrug, can kaburu dibérésan. Horéam.

Bener wé, kasampak si Papah kasaréan hareupeun komputerna. Leungeunna sidakep, dijadikeun bantal. Bangun tibra. Baku ari geus nulis carita téh, sok kitu si Papah mah. Sok kamalinaan. Kuring inisiatip rék mareuman kom-puter. Teu ngahaja, kabaca tulisan na komputer, ngeunaan diri kuring.

Sofia Foréver.

Ngajeblag badag, make font ukuran 16, Judul tulisan téh. Kuring seuri leutik. Bari atoh. Geuningan kuring masih kénéh dipikacinta ku salaki. Panasaran, kursor di ka handapkeun. Lalaunan, da sieun matak Si Papah hudang.

Gebeg.

Naon anu aya dina pikiran, èstuning jadi mawur. Awur-awuran. Ka mana mendi. Hatè ngadadak lumpuh layu, pas maca paragraf kahiji. Paragraf anu matak leuleus satulang sandi. Asa kahina ka nu jadi awéwé. Kuring istigfar na jero haté, nguat-nguat maneh ngarah teu nambru.

 

***