BONEKA KAYU ATANG - Cerita Anak - Penerbit SituSeni

Kamis, 27 Mei 2021

BONEKA KAYU ATANG - Cerita Anak


Oleh Queen Erni

MINGGU pagi itu, Atang bergegas menuju ke Kebun Raya, dengan naik angkot bercat hijau. Ia sudah biasa dengan bawaan keranjang cukup besar. Di dalam keranjang anyaman bambu itu, ada sejumlah wayang golek.

Di sekitar pintu masuk Kebun Raya, sudah ramai. Beberapa orang  menggelar dagangan-nya. Hampir semuanya oleh-oleh khas Kota Hujan, yang berada di sebelah selatan Ibukota negara. Ada cinderamata, aneka mainan, mobil-mobilan, sampai wayang golek. Ada yang jualan makanan, seperti asinan buah pala, talas, bengkoang, dan alpokat.

Atang pun memajang wayang golek buatan ayahnya. Kali ini ia jualan sendirian. Ayahnya sedang kurang sehat, karena semalaman harus menyelesaikan hiasan wayang-wayang golek pahatannya. Dicat dengan hati-hati. Terutama bagian wajah, dan mata. Agar tampak indah, dan mudah dikenali sebagai tokoh pewayangan. Termasuk tokoh-tokoh bebodoran. Terutama untuk tokoh Cepot yang terkenal itu.

“Semoga hari ini laris, Atang,” doa Ayah.

Anak kelas enam yang hampir ujian SD itu, selalu ingat pesan Ayah. Terutama kalau ia berjualan sendirian pada hari Minggu. Hari di mana lebih banyak pengunjung ke Kebun luas, dan banyak pohon suah tua. Mereka yang berdatangan, bisa menikmati pohon-pohon besar, berumur puluhan tahun. Ada yang berusia lebih dari seratus tahun. Pengunjung banyak yang duduk di kursi, yang tersedia tepi telaga, yang dihiasi teratai besar. Ya, sambil memandang ke arah Istana Bogor yang bertembok putih, yang berada di sisi barat.

“Ayahmu tidak jualan, Atang?” tanya Kang Karta, penjual balon yang sebaya Ayah. Ia kadang menenteng jualannya, memburu pengun-jung, seraya menawarkan balon aneka warna. Apalagi kalau ada anak kecil.

“Semalam  lembur, Kang. Jadi siang ini nebus tidur,” jelas Atang, sambil mengerjakan kayu sebesar jari orang tua. Ia kerap membuat bentuk-bentuk lucu, dari ranting kayu, saat menunggui dagangan wayang golek buatan ayahnya.

Kang Karta tertawa. Lalu ia berjalan menawarkan dagangannya. Atang tetap men-jagai wayang golek. Ia selalu kagum dengan wayang buatan ayahnya. Selain halus, juga dihias secara menarik. Terutama wajah tokoh-tokohnya. Yang perempuan tampak cantik, dan yang laki-laki begitu gagah. Atau tokoh lucu, yang terkenal sebagai punakawan: Gareng, Petruk, Bagong dan Semar. Tokoh dalam dunia pewayangan yang kerap muncul di layar televisi, meski ia tak mengerti bahasa Jawa.

“Yang ini berapa, Dik?” seorang wanita cantik, memegang tokoh wanita: Srikandi.

“Murah, Bu,” jawab Atang, sambil menyebutkan angka.

Ibu itu manggut-manggut.

“Boleh kurangi sepuluh ribu, Dik?”

Atang berpikir cepat. Harga itu sudah cukup memadai. Harga yang selalu diberikan ayahnya.

“Baiklah, Bu.”

Wanita berkacamata besar itu, masih melihat-lihat wayang-wayang golek buatan Ayah. Cukup banyak tokoh wayang, yang dibuat orang tuanya, yang hanya selesai sekolah hingga SMP. Ayah selalu menghendaki anaknya bersekolah lebih baik. “Orang memuji ayah, karena bisanya ayah hanya ini. Bisanya mem-buat boneka wayang. Kalau soal pengetahuan, kalah sama kamu anak-anak sekarang,” tutur-nya selalu, kepada Atang.

“Tapi Ayah tetap hebat,” pujinya.

“Kamu harus lebih hebat.”

“Ya, Ayah. Atang janji.”

Ucapan ayah tidak bohong. Karena Atang juga, bisa menjadi pemahat kayu yang baik. Buktinya, Ibu pembeli wayang Srikandi, ia beralih memperhatikan orang-orangan dari akar kayu, buatan Atang. Bentuknya unik dan lucu. Warnanya, warna kayu.

“Kalau ini dijual, Dik?” tanya wanita, yang belum membayar wayang Srikandi itu.

“Mmm … sebenarnya….”

“Saya minat.”

“Oh ....”

“Berapa harganya?”

Atang gelagapan. Namun ia segera berpikir cepat. Dan ia pun menyebutkan angka, untuk boneka dari cabang dan ranting kayu itu.

“Ya, tidak mahal, Bu. Sama Ibu yang sudah membeli Srikandi, dua puluh lima ribu rupiah saja.”

Ibu pembeli yang baru turun dari mobil itu, tertawa. Ia ditemani seorang anak wanita berkulit bersih. Rambutnya diponi mirip kuda.

“Pintar jualan juga kamu, ya.”

“Aaaah ...”

Atang senyum-senyum.

”Sudah, dua puluh. Jadi genap dengan Srikandi. Seratus lima puluh.”

Atang setuju. Ia pun membungkus boneka kayu itu, dengan hati-hati. Ya, ia benar-benar kaget. Karena boneka buatannya ada yang menyukai. Tepatnya, ada yang membelinya.

“Ayah, Atang pun sekarang bisa menjual buatan Atang,” desisnya bersyukur, setelah pembeli itu ditarik-tarik seorang gadis cilik yang menemaninya. Gadis bertahi lalat yang menarik. Apalagi berkacamata. Seperti anak yang gemar membaca.

***

Bu Sukanti berdiri, di ruang kelas enam SD Kapten Muslihat, sambil membersihkan tangan dengan bertepuk-tepuk. Anak-anak duduk dan siap pulang. Bel tanda pelajaran akan berakhir beberapa menit lagi.

“Sebelum pulang, Ibu akan memberi tugas untuk kalian….”

Terdengar dengung seperti lebah.

“Seminggu dari sekarang, berarti Sabtu depan, kalian menyerahkan hasil prakarya atau hasta karya. Boleh membuat apa saja.“

“Bahan dari kertas, Bu?”

“Boleh.”

“Lilin?”

Bu Sukanti tertawa.

“Ya, apa saja boleh. Yang penting, buatan sendiri.”

Atang segera dikerubuti teman. Mereka bertanya kepada anak itu. Beberapa tiba-tiba ingin bermain ke rumahnya.

“Ya, buat saja yang kalian bisa.”

Anak-anak perempuan itu jadi bertambah penasaran. Ingin diberitahu membuat apa dari Atang, yang dikenal biasa membuat mainan.

“Huh …!” dengus Andri, dari jarak tak terlalu jauh. Ia anak baru yang selalu suka pamer dengan barang-barang yang dimiliki. Kadang membawa mainan robot-robotan. Atau mobil dengan pengendali jarak jauh, remote control.

“Kenapa, Dri?” tanya Agus, yang berjalan melewati pintu Ruang Kelas, yang kemudian ramai celoteh anak-anak. Sebelum bubaran.

“Memangnya cuma Atang yang paling hebat di sini?” tanya Andri. “Aku juga bisa membuktikan. Lihat saja nanti.”

“Tapi ....”

“Ala, kamu juga tak percaya?”

Agus nyengir. Ingin ia menyela. Namun percuma. Apalagi ia tak mungkin membantah kepada Andri, yang suka meminjami mainan mahal kepadanya.

***

Sabtu siang itu pelajaran akhir. Bu Sukanti sudah memajang hasta karya anak-anak kelas 6. Anak-anak itu berceloteh, karena sebentar lagi, Ibu guru akan mengumumkan hasil peker-jaan tangan mereka. Hasta Karya.

“Punyaku, yang paling unik. Pasti paling …!”

“Sombong kamu!” sungut Tita.

“Eh, lihat saja!” kata Andri.

Bu Sukanti memberi peringatan. Agar anak-anak tenang.

“Karya kalian bagus-bagus,” kata Guru yang mengenakan baju batik motif Cirebonan.

“Punya saya yang paling bagus, kan Bu?” sela Andri dengan suara lantang.

“Yaaaa … lihat saja.”

“Pasti, Bu.”

Bu Sukanti tersenyum.

“Naaaah ...!” seru anak pindahan itu bangga. Seolah-olah senyuman Bu Sukanti, sebagai pertanda membenarkan, kalau karya Andri paling bagus.

“Sekarang, tenang!” guru itu mengangkat tangannya.

Keadaan jadi senyap. Mereka berdebar-debar. Menati penilaian Bu Guru yang sering mengajak jalan-jalan para murid. Terutama kalau mereka diminta untuk mengarang. Tempat yang sering dikunjungi, ya Kebun Raya.

“Kita sering-seringlah belajar pada alam,” katanya suatu hari. “Kenapa?”

“Karena alam ciptaan Tuhan ....”

”Wahyuningsih benar!” sebut Bu Sukanti. “Ada jawaban lain?”

“Biar mencintai lingkungan kita!” acung Supriyadi.

Wanita itu tersenyum. Tangannya yang terbuka, diangkat tinggi-tinggi. Pertanda ia senang dengan murid-muridnya yang cerdas.

“Kalau Atang?”

Mendapat pertanyaan mendadak, anak kurus itu gelagapan.

“Saya ... saya suka kayu-kayu untuk dibuat ....”

“Mainan?”

Teman-teman tertawa. Atang hanya bisa garuk-garuk kepala. Bibirnya senyum-senyum. Ah, ia memang pemalu.

Sekarang Bu Sukanti menilai prakarya siswa-siswanya. Satu-persatu ia memberi nilai hasil pekerjaan tangan anak kelas enam itu. Termasuk asbak kayu buatan Atang. Hingga sisa satu, dan ternyata itu milik Andri.

“Ini unik, dan bagus ….”

“Punya saya, Bu!” Andri berdiri dengan dada dibusungkan. Pandangannya diedarkan ke seluruh ruang kelas. Seperti ingin membangga-kannya.

“Oooh …!”

“Bagus, kan Bu?” tanya anak pindahan dari Jakarta itu.

“Sangat!” kata Bu Sukanti, sambil mengangkat boneka atau orang-orangan dari ranting pohon.

Andri pun mengangguk-angguk sombong.

“Ini buatan kamu sendiri, Andri?”

Anak itu tidak langsung menjawab.

“Ya, iya, Bu. Kan sudah diberi nama. Juga tidak ada yang tertukar?” katanya sambil menoleh ke teman-teman sekelas.

“Baik.”

“Nah, iya kan?” kata Andri lagi. Wajahnya tampak cerah. “Kalau perlu, karyaku itu dipajang di sekolah ini. Sebagai tanda ….”

“Tidak, Andri!” potong Bu Sukanti.

“Kenapa, Bu?”

“Karena ini bukan hasil perkerjaanmu.”

Andri kaget. Wajahnya berubah tegang.

“Kok?”

Bu Sukanti tersenyum. Ia memegang boneka itu, dan mengangguk-anguk. Seperti memuji, kalau hasta karya Andri itu benar bagus.

“Apa buktinya?” tanya Andri tak sabar.

Bu Sukanti meminta Andri maju mende-katinya. Anak itu pun menuruti. Meski ia mulai berdebar-debar. Apalagi teman-teman semua menatap ke arahnya. Tak berkedip.

“Kau perhatikan bagian penampang akar kayu ini,” pinta Bu Guru itu.

“Ya. Ada apa, Bu?” anak itu makin gugup. Keringat dingin pun tak bisa ditahan.

“Apa yang kaulihat?” tanya Bu Guru, pelan.

Andri memperhatikan. Namun ia kemu-dian menggeleng. Karena tak mengerti.

“Belum tahu?” cecar Bu Sukanti.

Andri tak bisa mengangguk. Ia menggeleng. Walau pelan sekali.

“Di situ simbol seperti hurus AS yang digandeng,” Guru wanita itu berkata pelan.

Andri menelan ludah. Ingin membasahi tenggorokkannya yang tiba-tiba kering. Ya, kering seperti ranting pada musim kemarau.

“Mmm ….ya,” aku Andri, akhirnya. Tak mungkin, ia tak membaca apa yang diminta Bu Sukarti.

“Pasti, Andri. Karena itu adalah nama depan dari Atang Sumarna. Teman kita yang tiap hari Minggu berjualan wayang golek buatan ayahnya, di Kebun Raya.”

Andri menelan ludah lagi.  Kali ini keringat pun mengucur, membasahi dahi lebarnya. Ia segera teringat ketika mamanya pulang dari Kebun Raya bersama Fani, pulang membawa wayang Srikandi dan boneka kayu yang lucu bentuknya. Dan Andri yang tidak ikut ke Kebun Raya itu, membawa boneka itu sebagai buah karyanya. Memenuhi tugas dari Bu Sukanti seminggu lalu. Sebagai hasta karya.

“Yang perlu kau ketahui, Andri.’

Andri hanya mampu mengangkat kepa-lanya sebentar. Tak berani menatap ke arah gurunya, yang bersuara bagus seperti penyanyi terkenal kelahiran Bogor, Vina Panduwinata.

“Ya, Bu,” desisnya sangat pelan.

Bu Guru itu tertawa pelan.

“Lebih dari tiga buah hasil keterampilan Atang disimpan di sekolah ini,” kata Bu Sukanti lagi.

Andri hanya bisa menunduk malu. Kali ini ia diam.

“Ngakuuuu …lah anak sombong!” seru beberapa anak perempuan.

Andri manalah mungkin berani menjawab. Tidak seperti hari-hari kemarin. Suka mengejek anak-anak perempuan itu.

“Jadi, boneka itu dari mana, Andri?” tanya Tini yang pernah diejeknya.

Sama seperti tadi, anak itu diam saja. Sama sekali tak berani menoleh ke arah mereka.

“Sudahlah!”

Bu Sukanti memberi peringatan kepada anak-anak.

“Ia sudah mengakuinya. Itu yang penting. Jujur itu ....”

“Haruuuuus ...!” sambut anak-anak.

Lalu terdengar tepuk tangan meriah.

Beberapa anak sekarang menoleh ke Atang. Anak itu pun hanya bisa menunduk. Hatinya berbinar-binar.

 

***

 

Cerita anak ini telah diterbitkan dalam bentuk buku bersama 4 judul cerita anak lainnya. Berminat mengoleksinya, cek di tokoko/situseni, cari menu TOKO ONLINE SITUSENI

Comments


EmoticonEmoticon