Pantun Kilat Bernama Karmina - Penerbit SituSeni

Senin, 21 Juni 2021

Pantun Kilat Bernama Karmina

 Oleh Doddi Ahmad Fauji

Sebelum paparan mengenai Karmina, saya ingin menyampaikan pengantar umum dunia literasi di Nusantara, dan hal tersebut saya awali dengan mengatakan bahwa seni pertunjukan yang kemudian setelah dituliskan diberi nama sastra, bias dikatakan ada dan dimiliki oleh berbagai bangsa dan negara, dengan corak dan ragam yang berbeda-beda. Setelah manusia berinteraksi antar daerah dan benua, terjadilah akulturasi budaya (percampuran budaya). Saling mempengaruhi, meniru, mengadopsi, bahkan mencuri artefak seni pertunjukan, telah menjadi fitrah manusia sedari dulu. Nah, bangsa Indonesia yang dulu disebut Nusantara itu, juga mengalami akulturasi dengan bangsa lain, terutama dengan bangsa India yang mengajarkan bahasa Sansakerta, dengan menggunakan hurup Palawa dan Dewanagari.

 

Namun Abiyasa yang menulis Babad Mahabarata, dan Walmiki yang menulis epos Ramayana, menurut sumber yang masih disebut ‘konon’ justru orang India yang belajar mendongeng dari bangsa Nusantara, di mana Mahabarata dan Ramayana merupakan pengembangan dari kisah I La Galigo dari Bugis, yang diakui oleh badan dunia untuk kebudayaan (Unesco) sebagai karya bertutur yang konfliknya paling kompleks di dunia, melampaui komplesitas yang terdapat dalam konflik Mahabarata dan Ramayana itu sendiri, juga lebih kompleks dari naskah tragedi Oediphus yang ditulis oleh Sophocles dari Yunani.

 

Dunia mencatat, ternyata bangsa Nusantara gemar berlayar dengan menggunakan kapal bercadik buatan Bugis (Sulawesi Selatan), yang mulai dilakukan sekitar 4 abad sebelum masehi. Pelayaran itu dilakukan ke arah Barat, karena dipengaruhi oleh angin  Munson Barat dan Muson Timur. Bergerak ke arah Barat dengan menyusuri gigir pantai Asia, menembus India, bagkan hingga terdampar di Madagaskar (Afrika). Selama pelayaran itulah, para pelaut Nusantara singgah di beberapa daerah, di antaranya di India, Sewaktu singgah di daerah lain itulah, para pelayar suka mendongeng, mengisahkan asal-usul manusia yang dimulai dari Batara Guru. Dalam I La Galigo, tokoh Batara Guru amat sentral, sebagaimana dalam babad Mahabarata dan epos Ramayana, tokoh Batara Guru juga menjadi sangat sentral. Maka dari sini lahir dugaan yang diucapkan si konon itu, yaitu bahwa seniman tutur India, yakni Abiyasa dan Walmiki telah menyadur I La Galigo.

 

 

Tentang mana yang paling benar, apakah India menyadur dongeng dari Nusantara, atau justru bangsa Nusantara yang menyadur dari India, tentu butuh penelitian lebih lanjut. Namun, adalah nyata bahwa bangsa Nusantara yang kini disebut Indonesia itu, kini tercatat menjadi bangsa yang tertinggal dalam bidang pemahaman dan penguasaan literasi, terutama dalam bidang tulis-menulis (teks).

 

Sastra lama adalah warisan nenek moyang yang sudah sepantasnya mendapat perhatian. Jangan sampai hiruk-pikuk kemajuan zaman menenggelamkan warisan yang sangat berharga ini. Atas dasar inilah buku ini hadir di hadapan pembaca dengan harapan bisa mengangkat kembali khazanah sastra lama yang hampir dilupakan keberadaannya agar kembali dikenal oleh masyarakat. Buku Mengenal Sastra Lama ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama membahas tentang puisi lama yang meliputi pantun, karmina, syair, gurindam, seloka, talibun, mantra, peribahasa atau bidal (mencakup pepatah, perumpamaan, dan tamsil), serta bentuk puisi lama lainnya (rubai, kit’ah, gazal, nazam, dan masnawi). Bagian kedua membahas prosa lama yang meliputi dongeng, fabe|, legenda, mite, sage, cerita jenaka, hikayat, cerita berbingkai, cerita pelipur lara, dan epos. Selain berisi jenis, definisi, ciri, dan sejarah aneka karya sastra lama, Buku Mengenal Sastra Lama ini dilengkapi contoh sehingga layak dibaca oleh siapapun. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, pendidik, peminat sastra, maupun masyarakat umum yang tertarik dengan kajian sastra lama, buku ini adalah salah satu bacaan yang wajib Anda miliki.

Comments


EmoticonEmoticon