AQUARINI MEMBACA KEDALAMAN HERI ISNAINI - Penerbit SituSeni

Minggu, 16 Mei 2021

AQUARINI MEMBACA KEDALAMAN HERI ISNAINI


Apa yang diharapkan dari membaca dan menulis puisi? Saya bukan seorang penulis puisi. Lebih dari itu, bagi saya puisi seringkali terasa agak berat dibaca meski ia relatif lebih pendek daripada prosa pada umumnya. Puisi berbicara dengan bahasa yang sangat hemat. Ia tidak merasa perlu untuk menjelaskan dengan panjang lebar.

Pendeknya, puisi menuntut pembaca untuk membaca di kedalaman. Jika membaca saja sering terasa berat, menganalisis puisi, apalagi memberikan kata pengantar seperti ini adalah suatu tantangan yang mungkin harus saya ambil untuk dapat merebut ruang untuk belajar membaca puisi. Untuk itu saya harus berterimakasih kepada penulis kumpulan puisi ini, Heri Isnaini, atas kesempatan membaca tulisannya ini. Juga kepada Ari J. Adipurwawidjana atas diskusinya. 

Membaca kumpulan puisi Heri, saya membaca seorang yang sedang mengeksplorasi cinta, memikir-kannya, menunggunya, menikmatinya, mempertanya-kannya, dan menerimanya. Cinta sepertinya energi yang menggerakkan Heri dalam eksplorasinya dengan puisi. Cinta kepada kekasihnya, cinta kepada Tuhan, cinta kepada hujan, cinta kepada cinta itu sendiri. Dan dari referensi yang sangat kental terhadap hujan dan cinta, kita tahu Heri juga pecinta Sapardi Djoko Damono. 

Sulit untuk tidak melihat Heri sebagai seorang penyair yang romantis. Pilihan katanya adalah kata-kata yang secara umum dimaknai atau dilekatkan dengan segala yang romantis. Kata “hujan” ditemukan empat puluh delapan kali di dalam keseluruhan kumpulan puisi. Kata “cinta” muncul tiga puluh delapan kali, dengan kata “mencintai” muncul delapan kali. Kata lain yang juga mendominasi adalah “menunggu” yang muncul sebanyak empat puluh lima kali. Kata “hati” muncul dua puluh kali yang dibarengi dengan kemun-culan kata “berduaan” sebanyak empat belas kali. Penanda cinta yang romantis lain adalah kata “bulan” yang muncul sebanyak sebelas kali.  

Kumpulan puisi ini jelas dibangun oleh cinta. Meski Heri tidak ragu menyebutkan bahwa puisi-puisinya adalah puisi cinta, ia tidak banyak menggam-barkan objek cintanya. Tuturan dalam kebanyakan puisi-nya adalah tuturan aku yang hanya ingin berbagi perasaannya, tetapi tidak banyak berbagi tentang siapa dan bagaimana objek cintanya. Kita boleh berargu-mentasi bahwa Heri cenderung menganggap pemba-canya memahami dunianya, memahami apa yang ada di benaknya, apa yang diharapkannya. Kecenderungan ini, di satu sisi menunjukkan suatu bentuk intimasi, karena Heri menganggap pembaca adalah dirinya, tetapi di sisi lain, dapat dibaca sebagai bentuk penjarakkan. Heri tidak ingin berbagi secara total apa yang dirasakan, dilihat dan didengarnya. 



Hujan, cinta, menunggu diungkapkan Heri tanpa banyak menjelaskan bagaimana hujan turun, bagaimana cinta dirasakan, dan bagaimana proses menunggu dilalui. Ia tidak juga berbagi tentang Yulia atau siapapun  yang menjadi objek cintanya, dalam ungkapan yang lebih ‘sensory’, yang menjelaskan siapa objek cintanya, tubuhnya, rupanya, lentik jarinya, suaranya, caranya berbicara, apa yang membuat Heri jatuh cinta padanya, atau bagaimana gerak objek cintanya itu menggerakkan dirinya. Heri tahu yang dirasakannya, pembaca diminta ikut merasakan apa yang dirasakannya tanpa ia merasa harus menjelaskan banyak. Pembaca seperti saya mungkin berharap Heri akan lebih banyak bercerita tentang perasaan cinta itu dalam bentuk yang lebih dapat ikut saya rasakan. Saya ingin tahu apa yang dilakukan sepasang kekasih ketika menuggu di hari hujan. Apakah mereka bersentuhan? Apa yang mereka rasakan ketika mereka saling bersentuhan? Apa yang terjadi dengan tubuh, dengan tangan, dengan kaki, dengan jantung, dengan darah? Apa yang dibicarakan mereka? Apa mereka membiarakan hujan yang tidak kunjung berhenti, apakah hujan yang dingin mengha-ngatkan mereka? Heri mungkin bisa mengajak pembaca merasakan sensasi hujan yang dirasakannya, segelegak rasa bahagia yang muncul ketika diam dalam hujan bersama kekasih.

Tapi kekasih bagi Heri bukan semata sosok perempuan. Seperti terlihat pada Kepadamu Kekasihku, baginya Tuhan adalah kekasih yang ia ketuk hatinya, yang kepadanya ia mengalirkan hasratnya. Kekasih yang begitu besar, yang dihadapanya ia kecil. Berdoa, adalah pujian yang dipersembahkannya kepada sang kekasih. Heri banyak berdoa, ada tiga belas kemunculan kata doa dalam keseluruhan karyanya, bahkan satu puisi bertajuk Doa. Dengan berdoa, Heri melampiaskan kerinduan dan kecintaannya pada Tuhan, yang seringkali tidak bersuara,  dan Heri terus menunggu dan terus memuji. Puisi Heri seperti perjalanan penantian menuju pene-rimaan dari sang kekasih dan Tuhan. 

Membaca kumpulan puisi ini membuat saya belajar juga bahwa menunggu adalah peristiwa penting. Seperti sudah disebutkan, ada empat puluh lima kemunculan kata “menunggu” dalam kumpulan puisi Heri. Puisi “Menunggu” mungkin merupakan kulminasi dari kegelisahannya atas sesuatu yang akan datang, akan masa depan, akan sesuatu yang tidak diketahuinya. 

Menunggu

hidup adalah menunggu
menunggu yang ditunggu:
menunggu susah
menunggu tua
menunggu sakit
menunggu jemputan
menunggu ajal
menunggu engkau
hidup adalah menunggu
seperti juga engkau 
tidak bosan menungguku setiap malam

Membaca puisinya, pembaca ikut menunggu, menunggu suatu simpulan, suatu penutup. Menunggu dalam puisi-puisi Heri bukanlah tindakan pasif, melainkan suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar. Menunggu mengimplikasi perjalanan, berpindah, berge-ser dari satu titik ke titik lain, berubah, mengubah. Bertransformasi. Menunggu adalah keniscayaan dan setiap waktu kita menunggu, Seperti disebutkan Heri, “hidup adalah menunggu”.  Dan hingga puisi terakhir dalam kumpulan puisi ini, Heri masih menunggu. Kita masih menunggu.

Sihirmu Bukanlah Hujan
-Kepada Sapardi Djoko Damono-

Sihirmu bukanlah hujan itu, aku mengenalnya dengan baik
berderet-deret dengan larik dan bait
yang di sela-sela hurufnya akan kau siasati
aku selalu menunggu isyarat yang kau katakan tiada itu
tajam hujanmu membingkai komposisi 1, 2, dan 3

Sihirmu bukanlah hujan itu, aku menunggunya di beranda
selepas matahari terbenam di barat, aku tidak akan mengikutinya
biar kau sajalah yang berceloteh tentang pepohonan basah dan ketukan-ketukannya
aku selalu mendengar  risik daun yang jatuh itu
deras hujanmu membasahi doa-doaku

Jika Sapardi ingin mencintai secara sederhana seperti hujan di Bulan Juni, Heri mencintai dengan kesabaran seorang sufi yang berdoa dengan kerendahan hati akan keagungan Ia yang dicintainya sepenuh hati. Ia menunggu.

Untuk penerbitan buku ini, saya ingin mengucapkan selamat kepada Heri atas karya antologi puisinya ini. Untuk para pembaca, selamat menikmati hujan, cinta, dan rindu. ***

Aquarini Priyatna, M.A., M.Hum, Ph.D.

Departemen Susastra dan Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
Comments


EmoticonEmoticon