Pantun Kilat Bernama Karmina
Oleh Doddi Ahmad Fauji
Sebelum paparan mengenai Karmina,
saya ingin menyampaikan pengantar umum dunia literasi di Nusantara, dan hal
tersebut saya awali dengan mengatakan bahwa seni pertunjukan yang kemudian
setelah dituliskan diberi nama sastra, bias dikatakan ada dan dimiliki oleh
berbagai bangsa dan negara, dengan corak dan ragam yang berbeda-beda. Setelah
manusia berinteraksi antar daerah dan benua, terjadilah akulturasi budaya
(percampuran budaya). Saling mempengaruhi, meniru, mengadopsi, bahkan mencuri
artefak seni pertunjukan, telah menjadi fitrah manusia sedari dulu. Nah, bangsa
Indonesia yang dulu disebut Nusantara itu, juga mengalami akulturasi dengan
bangsa lain, terutama dengan bangsa India yang mengajarkan bahasa Sansakerta,
dengan menggunakan hurup Palawa dan Dewanagari.
Namun Abiyasa yang menulis Babad
Mahabarata, dan Walmiki yang menulis epos Ramayana, menurut sumber yang masih
disebut ‘konon’ justru orang India yang belajar mendongeng dari bangsa
Nusantara, di mana Mahabarata dan Ramayana merupakan pengembangan dari kisah I
La Galigo dari Bugis, yang diakui oleh badan dunia untuk kebudayaan (Unesco)
sebagai karya bertutur yang konfliknya paling kompleks di dunia, melampaui
komplesitas yang terdapat dalam konflik Mahabarata dan Ramayana itu sendiri,
juga lebih kompleks dari naskah tragedi Oediphus yang ditulis oleh Sophocles
dari Yunani.
Dunia mencatat, ternyata bangsa
Nusantara gemar berlayar dengan menggunakan kapal bercadik buatan Bugis
(Sulawesi Selatan), yang mulai dilakukan sekitar 4 abad sebelum masehi.
Pelayaran itu dilakukan ke arah Barat, karena dipengaruhi oleh angin Munson Barat dan Muson Timur. Bergerak ke
arah Barat dengan menyusuri gigir pantai Asia, menembus India, bagkan hingga
terdampar di Madagaskar (Afrika). Selama pelayaran itulah, para pelaut
Nusantara singgah di beberapa daerah, di antaranya di India, Sewaktu singgah di
daerah lain itulah, para pelayar suka mendongeng, mengisahkan asal-usul manusia
yang dimulai dari Batara Guru. Dalam I La Galigo, tokoh Batara Guru amat
sentral, sebagaimana dalam babad Mahabarata dan epos Ramayana, tokoh Batara
Guru juga menjadi sangat sentral. Maka dari sini lahir dugaan yang diucapkan si
konon itu, yaitu bahwa seniman tutur India, yakni Abiyasa dan Walmiki telah
menyadur I La Galigo.
Tentang mana yang paling benar, apakah
India menyadur dongeng dari Nusantara, atau justru bangsa Nusantara yang
menyadur dari India, tentu butuh penelitian lebih lanjut. Namun, adalah nyata
bahwa bangsa Nusantara yang kini disebut Indonesia itu, kini tercatat menjadi
bangsa yang tertinggal dalam bidang pemahaman dan penguasaan literasi, terutama
dalam bidang tulis-menulis (teks).
Sastra lama adalah warisan nenek
moyang yang sudah sepantasnya mendapat perhatian. Jangan sampai hiruk-pikuk
kemajuan zaman menenggelamkan warisan yang sangat berharga ini. Atas dasar
inilah buku ini hadir di hadapan pembaca dengan harapan bisa mengangkat kembali
khazanah sastra lama yang hampir dilupakan keberadaannya agar kembali dikenal
oleh masyarakat. Buku Mengenal Sastra Lama ini terdiri atas dua bagian. Bagian
pertama membahas tentang puisi lama yang meliputi pantun, karmina, syair,
gurindam, seloka, talibun, mantra, peribahasa atau bidal (mencakup pepatah,
perumpamaan, dan tamsil), serta bentuk puisi lama lainnya (rubai, kit’ah,
gazal, nazam, dan masnawi). Bagian kedua membahas prosa lama yang meliputi
dongeng, fabe|, legenda, mite, sage, cerita jenaka, hikayat, cerita berbingkai,
cerita pelipur lara, dan epos. Selain berisi jenis, definisi, ciri, dan sejarah
aneka karya sastra lama, Buku Mengenal Sastra Lama ini dilengkapi contoh
sehingga layak dibaca oleh siapapun. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa,
pendidik, peminat sastra, maupun masyarakat umum yang tertarik dengan kajian
sastra lama, buku ini adalah salah satu bacaan yang wajib Anda miliki.