THR Tahun Ini 2X Gaji - Penerbit SituSeni

Rabu, 27 April 2022

THR Tahun Ini 2X Gaji

 SKEMA

[Sketsa Ramadhan]


*RAPAT KABINET*

Akmal Nasery Basral

_Sosiolog, Penulis_


SALAT subuh baru selesai. Jamaah masjid sedang berzikir. Sebagian berpencar, membaca Al Qur’an dengan suara perlahan. Siur angin dari pendingin udara yang bekerja sempurna begitu membuai mengusap kelopak mata,  membuat saya terkantuk-kantuk.


Tepukan lembut terasa di bahu kanan saya. “Kita siap-siap berangkat ya, Pak? Kita harus sampai istana sebelum rapat kabinet dimulai,” ujar Pak Luhur, seorang jamaah yang juga tetangga rumah.  Saya tersentak, “Hampir saya lupa kalau Pak Luhur tidak ingatkan. Terima kasih.”


Nama lengkapnya Luhur Budi Pekerti. Umur pertengahan 40-an. Orangnya baik sekali, sesuai namanya. Badannya tinggi jangkung, tegap, bugar, wajah klimis seperti aktor sinetron yang necis. Dia pernah bekerja sebagai wartawan sebuah koran terkemuka sejak lulus kuliah sampai usia awal 30-an. Kalau dia menulis berita, singkatan namanya LBP. Dunia jurnalistik sudah dia tinggalkan beberapa tahun lalu, sekarang berkhidmat di istana.  


Dia tak pernah ikut acara lingkungan seperti kerja bakti atau rapat warga. Tak ada yang mempermasalahkan karena Pak Luhur banyak memberi sumbangan dan bantuan tanpa banyak cingcong. Warga paham kesibukannya untuk kemaslahatan negara, bukan untuk hura-hura. Satu hal lagi yang membuat warga salut adalah Pak Luhur selalu hadir sebagai jamaah subuh di segala jenis cuaca. Kalau dia tak terlihat subuhan di masjid, itu artinya dia sedang ada tugas ke luar kota atau ke luar negeri.


Tiga bulan lalu dalam sebuah obrolan sepulang dari masjid menuju rumah, saya bertanya kepadanya, “Pak Luhur, kapan-kapan saya diajak melihat rapat kabinet dong? Bisa nggak? Itu salah satu _wishlist_ saya. Ingin melihat langsung dialog presiden dengan para menteri.”


Dia tatap saya seakan melihat makhluk luar angkasa yang baru mendarat di gurun Nevada dan tidak paham sistem tata negara. “Saya tidak janji ya, Pak,” jawabnya sopan. “Kedudukan saya di istana tidak setinggi yang bapak bayangkan.”


Saya paham. Berpekan-pekan kemudian tak pernah ada jawaban sampai semalam. Sehabis taraweh beliau menelpon saya mengabarkan keinginan saya melihat rapat kabinet bisa terlaksana esok. _Hari ini_.


Sekarang saya berada di istana, di sebuah ruang yang berisi 20-an orang. Bukan ruangan tempat rapat kabinet berlangsung tentu saja, tetapi ruang lain dengan televisi sebesar dinding—mirip _home theater_ atau bioskop mini—yang menayangkan gambar dari ruang sidang kabinet. _Real-time_. Hadirin lain di sekitar saya adalah para wartawan media internasional. Ada yang bertampang Oriental, ada yang berwajah Timur Tengah, ada pula yang berpenampilan Eropa. Dari _ID Card_ yang tergantung di leher mereka, semuanya dari media penting. Mungkin hanya saya satu-satunya yang bukan wartawan di ruangan ini. Apakah ini _press room?_. Saya tak tahu dan tak sempat bertanya kepada Pak Luhur. Sebab dia langsung menghilang setelah mengantarkan saya ke tempat ini. “Saya masih ada urusan lain yang harus dikerjakan. Bapak ikuti saja rapat kabinet sebentar lagi,” katanya. Fakta ini membuat saya semakin berterima kasih kepada Pak Luhur Budi Pekerti, tetangga saya yang sungguh baik hati.


Semua hadirin serius menatap layar yang menampilkan gambar lebih tajam dari resolusi 4K Ultra HD.  Begitu jernih dan nyata seakan-akan kami sedang berada _di dalam_ ruang sidang kabinet. Para menteri, Jaksa Agung, Panglima, dan pejabat penting lainnya sudah duduk rapi di kursi masing-masing ketika Presiden dan Wakil Presiden masuk ruangan. Andrenalin saya melimpah ruah, semangat berkobar. Meski saya berada di ruangan berbeda, paling tidak berada di bawah satu atap istana yang sama.


“Rapat kabinet tak boleh lebih dari satu jam,” ujar presiden mengawali pembicaraan. “Banyak banyak sekali urusan di masyarakat yang harus kita pecahkan sebelum lebaran. Siapa yang mau mulai?”


“Saya, Pak Presiden,” jawab Menteri Dalam Negeri cekatan. “Saya sudah temukan solusi untuk aktivitas baru warga yang suka mengaji bersama di trotoar jalan raya dan sudah dilakukan di beberapa provinsi belakangan ini.”


“Seperti apa solusinya Pak Mendagri?”


“Mengaji bersama tetap diperbolehkan asal tidak mengganggu orang yang lewat, tidak boleh pakai _sound system_ dan durasi maksimal 15 menit. Setelah itu bubar dengan tertib dan menjaga kebersihan. Ini seperti konsep _flash mob_  hanya beda konten. Bisa jadi daya tarik wisatawan asing juga. Dalam sepekan dialokasikan satu hari untuk Ngaji on the Street, hari lainnya untuk umat Kristen, Katolik, Hindu, Buddhist, Konghucu, dengan ibadah masing-masing. Ketentuan serupa. Ini penghargaan kita kepada enam agama resmi yang diakui negara selain menunjukkan falsafah bhinneka tunggal ika secara nyata. Kalau acara kesenian boleh tampil di ruang publik, mengapa untuk acara agama yang mengingatkan kepada Tuhan harus dilarang? Apalagi sila pertama Pancasila adalah ketuhanan yang maha esa sudah terang benderang.”


“Ide luar biasa. Saya setuju. Segera dijalankan, Pak Mendagri,” sahut Presiden mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan sebelum tatapannya berhenti di Menteri Agama. “Soal _sound system_ , bagaimana perkembangan terbaru tentang ini Pak Menag?”


“Alhamdulillah, Pak Presiden. Kemenag sudah menjalankan kerja sama dengan asosiasi pemilik hotel dan restoran, kafe, dan industri _sound system_ yang akan mendonasikan _sound system_ milik mereka untuk masjid dan musala. Tidak harus baru, yang seken pun tak apa asal masih baik. Jadi DKM tak perlu gunakan infak jamaah untuk beli _sound sytem_ Mereka bisa gunakan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak. Selain itu, kami juga akan memasok karpet dan sajadah baru untuk musala di seluruh negeri. Sumber dana dari CSR korporat besar.”


“Bagus sekali, Pak Menag. Jangan lupa pikirkan cara agar para imam mushala yang belum pernah haji dan umrah agar berangkat secepatnya tahun ini. Prioritaskan mereka karena mereka adalah para pelayan Tuhan yang bekerja ikhlas sehingga kita sebagai abdi negara pun harus sungguh-sungguh melayani mereka.”


“Siap, Pak Presiden. Setelah lebaran akan berangkat rombongan umrah para imam dan khatib dari musala pulau-pulau terluar dan daerah-daerah terisolir. Mereka kita prioritaskan karena selama ini merupakan ujung tombak yang membuat masyarakat di tempat-tempat sulit itu tetap setia kepada Ibu Pertiwi.”


“Saya setuju,”  Presiden kembali edarkan pandangan.  “Bapak Menkopolhukam ada yang ingin disampaikan?”


“Siap, Bapak Presiden. Kami berkoordinasi dengan Ibu Menlu, Jaksa Agung dan Pak Menkumham untuk menangkap dan mengekstradisi buron kakap pengemplang pajak yang masih bersembunyi di luar negeri. Sebelum lebaran ini ada tiga konglomerat hitam yang bakal kita cokok dan bawa kembali ke Indonesia. Kita sita harta mereka untuk negara dan miskinkan mereka agar jadi pelajaran bagi yang lain,” ungkap Menkopolhukam.


“Ini kabar gembira yang sudah lama ditunggu rakyat. Hebat. Jangan lupa para koruptor dari parpol juga ditangkapi. Jangan sampai kita ditertawakan dunia internasional karena sigap menangkap tersangka teroris tetapi terhadap koruptor seperti tak bergigi,” tukas Presiden dengan tatapan kembali bergerak ke menteri lainnya. “Bapak Menpora bagaimana?”


“Prioritas kami saat ini memanfaatkan sirkuit internasional untuk arena balap geng motor. Kita laksanakan kompetisi khusus antargeng motor sehingga mereka tidak mengganggu warga dan bisa salurkan hobi secara positif. Balapan dilakukan dini hari sesuai habit mereka. Semoga Bapak Presiden berkenan membuat Piala Presiden untuk geng motor,” papar Menpora. “Mereka pasti bangga sekali.”


“Keren idenya Pak Menpora. Mantap. Silakan buat Piala Presiden untuk geng motor. Mereka warga negara juga, harus bisa mencicipi mulusnya lintasan sirkuit kita. Jangan hanya untuk pembalap luar bermodal besar. Lagi pula, kelakuan geng motor yang sering resahkan warga belum tentu karena mereka kriminal. Bisa saja karena mereka kurang piknik mengenal daerah lain. Ini ironis karena negeri kita begitu banyak pulau, budaya dan etnis. Adanya kompetisi balap khusus geng motor membuat mereka bisa _traveling_ ke pulau lain dan berinteraksi dengan budaya berbeda. Mata mereka akan lebih terbuka, wawasan kebangsaan mereka akan semakin luas. Kita pengelola negara harus memfasilitasi,” ujar Presiden sebelum menatap menteri lain lagi. “Bapak Menteri Perdagangan? Bagaimana kesiapan jelang lebaran?”


“Pasokan sembako aman, tak ada lagi barang langka, Pak Presiden. Kami sudah bongkar komplotan mafia penimbun sembako. Kami akan bongkar sampai ke akar-akarnya sebelum lebaran,” sahut Mendag. “Kami koordinasi dengan Kemhumkam agar para pelaku dikenakan hukuman seberat-beratnya karena melakukan _crime against humanity_ di tengah era pandemi yang membuat rakyat sudah begitu menderita.”


“Saya dukung. Beri hukuman seberat-beratnya untuk para pengkhianat rakyat,” sahut Presiden. “Ibu Menlu? Ada program khusus jelang lebaran?”


“Secara khusus tidak ada. Cuma sehubungan G20, kami prihatin sekali melihat jubir milenial yang kita pilih sedang di- _bully_ media-media asing. Padahal dia anak baik, cerdas, tak punya kasus negatif. Dia lulusan kampus terkenal internasional tapi sudah divonis tak bisa kerja karena bukan dari jalur diplomat profesional."


“Ya, saya baca juga beritanya. Kasihan sekali. Menurut Ibu Menlu apa penyebab utamanya?”


“Kita kurang total melibatkan jubir muda ini, Pak Presiden. Seharusnya ketika berlangsung G 20 tahun lalu di Italia kita sudah dia ke sana untuk observasi tugas sebagai jubir dan perkenalkan dirinya kepada para delegasi peserta. Kalau itu kita lakukan, saya kira dia akan disambut gembira oleh para diplomat kawakan. Bagaimanapun juga regenerasi itu sebuah keniscayaan. Jubir muda kita ini sangat potensial. _She’s the whole package_.”


“Baik. Tapi karena kita tak bisa kembali ke tahun lalu, silakan Ibu Menlu lakukan apa yang harus dilakukan,” ujar Presiden kembali memindahkan pandangan.  “Ibu Menteri Sosial?”


“Terima kasih Bapak Presiden. Kemensos mengantisipasi lebaran ini dengan program ramah lingkungan dan peduli duafa. Jika pada tahun-tahun sebelumnya setiap jelang lebaran jalan-jalan mendadak dipenuhi pengemis dan gelandangan, kali ini tidak lagi.  Kenapa? Karena mereka sudah mendapat paket khusus kebutuhan Ramadhan dan lebaran. Kami berhasil menghentikan kebocoran Dana Bansos, Pak Presiden! Sehingga bukan saja pengemis dan gelandangan yang bisa dibantu, juga para pengamen jalanan. Ternyata ketika korupsi berhasil ditekan, kesejahteraan atas warga miskin dan duafa yang jadi tanggung jawab negara sesuai amanat konstitusi bisa dijalankan.”


“Senang sekali mendengar kabar ini, Ibu Mensos. Begitulah seharusnya tugas negara terhadap rakyat yang miskin papa,” ujar Presiden. “Ibu Menteri Keuangan?”


“Siap, Bapak Presiden. Kami sudah berkoordinasi dengan Menaker bahwa urusan THR sudah tak ada masalah. Bahkan untuk tahun ini besarnya dua bulan gaji. Itu yang pertama. Yang kedua--seperti kita sudah sepakati bersama--untuk THR presiden, wakil presiden, para menteri dan pejabat negara setingkat menteri, wakil menteri dan para dirjen, jajaran gubernur dan wakil gubernur serta duta besar dan wakil duta besar atau yang setingkat, disetorkan ke Kas Negarauntuk digunakan sebagai tambahan tunjangan bagi para pensiunan. Mereka adalah sesepuh dan para senior yang harus kita hormati. Tanpa kerja keras mereka kita tak akan pernah menikmati kondisi saat ini. Namun mengingat jumlah pensiunan yang banyak, kontribusi kita para pejabat negara mungkin tidak akan banyak ketika sampai di tangan mereka. Tidak mengapa. Yang penting keberpihakan kita yang utama kepada para _senior citizens_ harus dibuktikan.”


Wajah Presiden bersinar cerah. “Ini bentuk negeri _gemah ripah loh jinawi_ yang kita impikan selama ini, Ibu Menkeu. Meski masih jauh dari sempurna, tapi harus kita mulai sungguh-sungguh untuk mewujudkannya dalam kehidupan nyata ...”


Mendadak tubuh saya terguncang-guncang. Saya pikir ada gempa bumi. Namun ketika saya tolehkan kepala ke samping, satu persatu tubuh wartawan asing menghilang. Pandangan saya alihkan ke depan. Layar raksasa juga tak ada. Astaga!


“Pak, bangun, Pak. Kajian subuh sudah selesa,” ujar Pak Luhur yang tangannya masih di bahu saya. “Pulas sekali tidurnya.”


“Astaghfirullah!” Saya mengucek mata dan memajukan tubuh dari tiang masjid yang menjadi sandaran tubuh. Saya baru ingat usai salat subuh jelang kajian tadi saya pindah tempat duduk untuk mencari sandaran badan. Pendingin udara yang bekerja optimal di dalam masjid dan karpet empuk lunak yang menjadi alas duduk rupanya bersekutu membawa saya ke alam mimpi.


Saya lihat tetangga saya sedang menatap ponselnya. Air mukanya berubah antara terperanjat dan kecewa. Saya bertanya hati-hati, “Ada apa, Pak Luhur?”


Dia sodorkan gawai ke depan saya, “Mati aku!” desisnya panik. Sebuah judul berita dengan huruf kapital dan efek tebal terpampang di layar digital: *PRESIDEN IMBAU HALAL BIHALAL LEBARAN TANPA  MAKAN MINUM*


“Hmm, kenapa Pak Luhur bilang mati aku?” tanya saya tak mengerti.


“Saya sudah bayar _ballroom_ sebuah hotel untuk 2.500 orang dan _catering_ hotel untuk halal bi halal dua minggu setelah lebaran. Suvenir eksklusif untuk hadirin pun sudah saya pesan dan bayar.  Undangan untuk para tokoh lintas profesi dari daerah kelahiran saya juga diedarkan dan mereka sudah konfirmasi bakal hadir,” katanya dengan wajah memucat. “Juga seorang ustaz terkenal yang sering tampil di teve sudah saya _booking_ dan bayar lunas honornya yang mahal. Seratus anak yatim juga sudah disiapkan untuk menerima santunan paket istimewa.”


“Wah, bakal jadi halal bihalal yang meriah. Semoga berkah,” ujar saya terkesima.


Dia berbisik di telinga saya, “Saya mau _nyalon_ buat 2024, Pak.”


20.04.22

(18 Ramadhan 1443 H)

*@akmalbasral*

Penulis 24 buku. Penerima penghargaan _National Writer’s Award 2021_ dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.

Comments


EmoticonEmoticon