Penerbit SituSeni: PUISI
Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Mei 2021

SEKALIPUN - Mengenang Amrzan Lubis

Doddi Ahmad Fauji

SEKALIPUN

 
- Mengenang Amarzan Lubis

Kita tak pernah berkarib ria
namun betapa penyesalan ini telah menyelimuti seluruh langit
seakan gerhana total, tak menyisakan seutas pun cahaya
karena bahkan aku tak sempat mendengar raung sirine
yang mengantarkan-mu ke rumah cahaya


Kita tak pernah berpapasan, namun ingin kukatakan
kepahitan demi kepahitan telah kukunyah habis
jadi obat luka hati, meski kesakitanku tak kunjung sembuh
sejak luka hati tak terobati, aku mencandu filsafat pemberontakan
tiap kurasakan sesuatu tampak ganjil dan tak adil
aku akan melawan, sekalipun terhempas


Membaca kisah-mu, terasa benar mungil kelingkingku
terlalu berani untuk meruntuhkan tiang langit
hingga aku terpental dan terpuruk begitu dalam
tapi aku jadi tertawa, karena ada yang lebih gila
dari si pemurung ini, yang mengurung diri
bersama tumpukan sampah dan belatung
aku tertawa sekaligus menangis
bagaimana bisa seseorang bertahan hidup
dengan memanggang tikus di atas nyala lilin
lalu disantap dengan lahap
itulah sepenggal fragmen kegilaan-mu, Amarzan!


Bandung, 2019


Amarzan Lubis adalah wartawan Harian Rakyat, yang ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Orde Baru, karena dituduh PKI gegara ia ikut dalam barisan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Untuk bertahan hidup, jangan tanya apa yang pernah ia makan, tapi tanyakan apa yang belum pernah ia makan. Ia pernah memakan daging tikus setelah ia panggang di atas nyala lilin!

Foto dari Majalah Tempo: tempo.co

NYANYIAN DARI SERUYAN

Puisi Pamflet Doddi Ahmad Fauji


NYANYIAN DARI SERUYAN


Dari pucuk-pucuk daun sawit
jerit tangis bangsaku melengking ke angkasa
gendang telinga langit robek, lalu infeksi
mengucurlah nanah sederas hujan menggebu
di tanah mantan kali yang telah lama mati
nanah bercampur limbah kilang minyak sawit
banjir bandanglah tangis warga Borneo
dan bumi mayapada ikut sesak nafas

Wahai warga dunia yang tercinta
mengapa kalian sebut Kalimantan
serupa paru-paru buana
tapi kalian biarkan hutan ulin dibabat
kayu kamper digergaji dan dijual ke Jawa
lahan gambut dan perdu dibakar
berganti hamparan ladang sawit

Para petani beralih masuk pabrik minyak
tiap pagi menyanyikan lagu kebangsaan
tanah tumpah darahku yang membanjir
dan monyet-monyet jadi pengemis
di pinggiran jalan, berharap sesuap
berkah untuk mengganjal lambung

Sepanjang perjalanan dari Sampit ke Seruyan
mengalun lagu kalah orang usiran
mengapa bangsaku jadi budak di negeri sendiri
mengapa tanah luas bikin otak malah sempit
mengapa berkah justru jadi sumber musibah
dan asap-asap bakaran hutan membumbung
mengiringi ratapan anak bangsaku
yang menguar dari pucuk-pucuk sawit

Inilah nyanyian paling fals nan sumbang
yang meninabobokan malam-malamku




Bandung, 2021

Kamis, 27 Mei 2021

EMPAT SAJAK SUNDA WILLY FAHMY AGISKA

HAR


Ngetém di angkot Stasion-Lembang
setengah jam.


Ngetém di haté manéh
tekor umur sorangan.


Nggeus atuh, rup.
Tong ngiriman waé papan ketik
atawa sajak ka haté aing. Rudet.


Kop lebok,
nasib mah anu manéh.


2021


CUNGUR


Masih betah kénéh ning, mandi beurang
di wc luar kosan euweuh saungan
(jiga haté manéh pisan)


Tuh, tempo ku sia nepi edan.


Langit heurin ku awan
jeung beungeut-beungeut babaturan
ngagarantung, kakalangkangan, laliwatan.


Cungur, euweuh hirup anu bebas.


2021


LATIHAN NGETIK
STATUS DEUI


Hey, Zuckerberg


Di mana manéh
nunda uteuk ti basa
jeung haté aing siah,
di mana


Tong olo-olo kitu lah.


Cik, ménta aplikasi.
Loba teuing leungeun
paridato, rudet.


2021


BUND


Ari si bakékok kamana, bund?


Naha bet ayeuna mah
meni euweuh san ngahudangkeun lah.


Sakalian wéh atuh
tutupan ku daun cau aing téh.


(Ti beulah ditu, joljol aya loba “bakékok”
cenah, ceuk cungur-cungur hayam batur)


Koplok


2021



Willy Fahmy Agiska, lahir di Ciamis, taun 1992. Sapopoé mancén gawé di Bandung jadi rédaktur sastra Buruan.co. Sok aktip di komunitas sastra ASAS UPI. Seseringna nyerat puisi dina basa Indonésia, bari sasakali nyerat puisi dina basa Sunda. Buku kumpulan puisi basa Indonésia-na, Mencatat Demam (2018, Kentja Press) kungsi dilélér hadiah sastra Hari Puisi Indonésia katégori “Buku Puisi Terbaik Anugerah HPI 2019”.




Email: willyfahmyagiska@gmail.com
No. Hp: 089627002433 (Whatsapp) atau 081211830880 (Telepon)

AKU CINTA PADAMU (14)

Doddi Ahmad Fauji


 
AKU CINTA PADA-MU (14)

Aku jatuh cinta kepada senja, sejak hari pertama
matahari melukisnya di langit. Senja senantiasa
menghiasi langit petang-ku dengan warna-warni
ceria semeriah lembayung, atau gumpalan awan
yang menggambarkanbentuk-bentuk unik:
terkadang menyerupai Selat Karimata
adakalanya mirip raut wajah-mu yang keibuan
 
Tetapi aku kini frsutrasi. Senja yang amat kucintai
telah hilang dari peredaran waktu. Ada kudengar
pangreh paraja telah merombaknya jadi Mol
tanpa persetujuan penduduk. Ada yang bilang
polisi lalulintas mengalihkan jalurnya, karena
rombongan presiden akan melintas
isu lain mengatakan, Walikota telah
memberlakukan jam senja bagi warganya
 
Aku juga jatuh cinta kepada-mu sejak senyuman
pertama, dan aku melihat dari bibir-mu
kupu-kupu beterbangan menghiasi kamarku
sejak itu, kau dan senja, selalu setara di hatiku
 
Kau telah menggantikan senja yang hilang di kota
ketika kubaca sekelumit kalimat yang menggugat
ditulis seorang pembangkang dari desa terisolasi
kepada walikota terlaknat yang berhati picak
 
“Masalah terbesar kota-mu Wali, bukan terletak
pada ketiadaan curah hujan, tapi pada cinta yang
tergerus oleh mesin syahwat dan iklan kecantikan
membuat warga-mu selalu hampa dan kemarau!”
 
Kau menjadi sekelumit kalimat yang menginspirasi
kelahiran puisi-puisiku, yang kutulis di suatu senja
 
 
2014-2021

Minggu, 23 Mei 2021

MEMO BAGI PENGANTIN

Willy Fahmy Agiska

MEMO BAGI PENGANTIN

Kekasih, seperti puisi
tentu aku bakal balik kiri sebagai orang pinggiran lagi.

Di luar cahaya pesta, obrolan-obrolan, 
jenis-jenis mimik manusia dan salam-salamnya
Di luar keterbelahan mimpi-mimpi masa muda 
dan langit malam yang bagai mimikri sisi gelap diri

Jalan-jalan dan kekosongan putus asa menerjemahkan kebisuanku sebagai cinta.
Sedang di luar pagar-pagar buta, aku bermimpi 
menjadi janur yang menunduk sepanjang hatimu.

Aku bermimpi hijrah dari tubuh sendiri,
menyelinap ke antara gang-gang kota, fonem-fonem bahasa,
dan para penyair penyeru melankoli dirinya, 
sebagai kesunyian di luar kamus-kamus manusia.

2020


KEPADA YEHUZA

Kamar kosong itu 
kotak dan kaku 
sepertimu.
Masihkah
kau sebut kesepian:
perasaan yang
tak pernah berwarna 
selamanya?
Tak ada
yang pernah mau 
berbalik diri 
selama itu.

Punggungmu
masih tempat aku 
menggenggam kembali 
diriku sendiri.
Tapi aku manusia.

Pernah di luar belas kasih, 
liar, kumal & kering 
seperti dijauhi
tuhan dan angin.
Setiap tempat
--di mana kau
tak pernah datang-- 
tak satu pun
jadi nama atau bahasa.

Dan pernah pula,
mengumpat tolol
ke sebuah pohon tua 
sudah dipenggal 
batangnya:
Maukah kau
hidup dan berdiri sekali lagi, 
dengan menghisapku
dari hidup gila-baper 
manusia?

2021

Bionarasi: Willy Fahmy Agiska, alumni Depdiksatrasia UPI Bandung, masuk tahun 2011. Ia aktif dalam organisasi intra-ampus Arena Studi Apresiasi Sastra (UPI) Bdg. Antologi puisinya, Mencatat Demam, menjadi Juara I Lomba Buku Puisi 2020 yang diselenggarakan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia. Willy memperoleh hadiah Rp50juta untuk kemenangan buku antologi Mencatat Demam.

Jumat, 21 Mei 2021

Aku Mencintaimu Sebagai Laut

Edwar Maulana



Aku mencintaimu sebagai laut yang terbelah
ketika orang-orang berusaha menombak ombak
mematahkan mukjizat dari sebatang tongkat
di tangan seseorang yang penuh berkat.

Aku mencintaimu sebagai laut yang geram
ketika para penjajah dengan gagah menyebut
dirinya penjelajah yang terlatih dan gigih.

Aku mencintaimu sebagai laut yang cemburu
ketika diam-diam sepasang kekasih berbagi peluk
bertukar cium di sebuah kapal yang diyakini
tak akan pernah tenggelam.

Aku mencintaimu sebagai laut yang marah
ketika para nelayan lupa mengucap syukur
atas ikan-ikan besar dan segar, juga angin
yang telah menjauhkan mereka dari rasa lapar.

Aku mencintaimu sebagai laut yang tabah
mengasuh sampah, limbah, bangkai pesawat
serta tubuh-tubuh yang tak lagi utuh.


Bandung, 2015

Diambil dari antologi puisi Surat untuk Kekasih, diterbitkan pertama oleh Penerbit AsasUpi, dan diterbitkan ulang oleh SituSeni pada 2016