MAWAR DARI CIHIDEUNG - Penerbit SituSeni

Kamis, 27 Mei 2021

MAWAR DARI CIHIDEUNG

Pengantar Editor

Sebagaimana lagu untuk anak-anak yang jarang dicipta oleh para pemusik, demikian juga cerita untuk anak-anak, termasuk jarang dicipta oleh para penulis. Padahal jumlah anak-anak Indonesia sangat banyak. Mereka membutuhkan bacaan yang berkualitas, untuk meningkatkan perkembangan imajinasi dan budi pekerti.

Ada lima cerita anak-anak yang ditulis oleh Queen Erni Wardhani, yang sudah dibukukan dengan juluk Boneka Kayu Atang, yang dapat mengisi kekurangan naskah-naskah yang layak baca, untuk anak-anak setingkat SD dan SMP. Naskah Mawar dari Cihideung, dimuat paling akhir dalam buku tersebut.

“Boneka untuk Atang” adalah salah satu judul cerita dalam buku ini. Cerita tersebut berhasil menjadi Cerita Favorit dalam “Lomba Cerita untuk Anak-anak” yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jawa Barat pada 2017. Selamat membaca dan mengapresiasi.

 

Editor, 2017

 

Oleh Queen Erni

Di perempatan Dago, seorang wanita mengacungkan setangkai mawar merah, ketika kaca sebuah mobil sedan hitam terbuka. Tanpa kata-kata, dari dalam mobil itu, menjulur selembar uang kertas. Lalu berpindahlah bunga harum semerbak dari tangannya. Mawar merah.

“Terima kasih ...,” ucapnya sambil setengah membungkuk.

Lampu merah-kuning-hijau di perem-patan itu menyala hijau. Mobil sedan hitam itupun berlalu, bersamaan dengan mobil lain yang berimpitan.

”Kita pulang,” kata wanita itu, mengajak Tika yang sejak tadi duduk di pojokan. Jalan ramai pada setiap Sabtu sore menjelang senja.

“Ya, Ambu ...!”

Keduanya pun berjalan menuju timur perempatan. Pelan-pelan. Wajah mereka tampak cerah, seperti sore itu. Langitnya biru, dan mulai berwarna merah jingga. Bunga potong yang dijual setiap Sabtu di perempatan itu, telah habis.

“Laris bunga kita,” ujar wanita yang dituntun Tika.

“Alhamdulillah,” sahut gadis beram-but panjang, yang dikepang kuncir kuda.

“Ambu ....”

“Ya.”

“Ah, tidak.”

“Ada apa, Sartika?” tanya wanita itu. “Sepertinya ada yang ingin kaukatakan kepada Ambu.”

Gadis kecil itu menghentikan lang-kahnya. Ia menghela nafas dalam-dalam, sebelum kemudian mendongakkan kepala.

“Ambu Henteu keberatan?”

Wanita itu tersenyum setengah menahan tawa.

“Ngomong saja belum, kenapa kebe-ratan?” tanya Ambu. “Sartika punya keinginan ya?”

Gadis kecil mengangguk.

“Katakan. Mumpung Ambu sedang memegang uang banyak.”

Tika atau Sartika tampak senang. Lalu dipegangnya tangan Ambu, lebih kuat. Bagi wanita yang telah melahirkan Tika, tahu apa maksud anaknya dengan memegang kuat-kuat seperti itu. Anak yang berusia sebelas tahun. Ya, pada hari ini usia Sartika sebelas tahun.

“Tika ingin membeli buku ...”

“O, boleh. Di mana? Buku apa? Berapa harganya?”

Tika melepaskan genggamannya. Dita-tapnya wajah ambunya, yang selama ini bekerja keras, sejak ayahnya meninggal. Sehari-hari, ibu bekerja di ladang bunga  potong, milik keluarga Bu Halimah.

“Benarkah?”

“Ya, ya benar atuh. Masak Ambu bohong.”

Tika kembali memegang tangan ibunya. Lalu didekatkan ke pipinya. Lama ia diam dengan menempel-nempelkan tela-pak tangan belum keriput itu.

“Sebenarnya buku itu sudah Tika baca, Ambu.”

“Trus?”

“Tapi Tika ingin memilikinya.”

“O, kenapa?” tanya Ambu.

“Karena ceritanya bagus. Dan.. dan...”

Tika menghentikan kata-katanya. Ambu menjadi heran. Juga penasaran. Apakah buku itu sangat bagus? Sehingga Tika demikian ingin memiliki buku, yang belum disebutkan judulnya. Juga berapa harganya, serta di mana membelinya? Selama ini, ia tak pernah membeli buku. Kalau harus membacanya, meminjam ke perpustakaan sekolah, yang lumayan penuh buku. Apa karena ia ulang tahun?

“Dan apa, Sartika?”

“Tika kenal pengarangnya.”

“Hah!” Ambu terkejut bukan kepa-lang. Ditatapnya sang anak itu, tanpa berkedip. Benarkah anaknya berkenalan dengan pengarang buku yang diingin-kannya?

“Ambu marah?”

Ambu menggeleng.

“Ambu heran. Bagaimana Sartika sampai bisa berkenalan dengannya?”

Tika memegang tangan ambunya. Lalu ia menuntun ke tepi jalan, yang sudah tak seramai di perempatan Dago tadi.

“Pengarangnya, kemarin ke sekolah Tika.”

“Ooooooh....”

Anak itu bercerita, sungguh menye-nangkan bisa bertemu dengan pengarang buku cerita “Sarinah dari Hegarmanah” itu. Namun ia sedih, karena tak bisa membelinya seperti Indah Sumawinata, Luwi Iswara, dan Deddy Hidayat. Juga tak bisa meminta tanda tangan kepada pengarangnya: R Entin Wardhani.

“Tapi Tika sempat berfoto dengan-nya. Ini,” kata gadis itu seraya mengeluar-kan selembar foto yang ditandatangani pengarang buku itu.

Ambu segera memegang foto yang dipegang anaknya. Lalu mengamatinya sejenak. Senyumnya mengembang. Ia melihat betapa berseri-serinya Tika di situ. Meski kemudian ia jadi memperha-tikan pengarang wanita berkacamata itu, Entin Wardhani.

“Saha nami pengarangnya, Sartika?” tanyanya kemudian.

“Entin Wardhani....”

“Entin ... Entin Wardhani,” wanita itu mengernyitkan kening. “ Di mana tinggal-nya?”

Tika yang jadi heran sekarang.

“Tika tidak tahu. Memang kenapa, Ambu?”

“Ambu seperti mengenalnya .....Ah!” lalu ia menjentikkan jari-jemarinya. Berbunyi “ceklek”, cukup keras. Tangan Ambu memang agak kasar, karena tiap hari bekerja sebagai buruh tani menanam bunga potong, tak jauh dari rumah keluarga Bu Halimah. “Dia punya tahi lalat di dekat hidung sebelah kanan?”

Tika menggelengkan kepala. Ibunya sungguh aneh. Sampai bertanya dan menebak-nebak segala. Memangnya kalau pengarang buku itu bertahi lalat di dekat pipinya, kenapa? Sedangkan kemarin ia lebih memperhatikan wanita sebaya ibunya itu, bercerita tentang hasil karangannya. Sehingga dengan senang hati, pengarang itu datang ke sekolah-sekolah, yang meng-undangnya untuk menceritakan karangan-nya itu. Ya, cerita seorang bernama Sarinah dari Hegarmanah, yang pantang menyerah. Hidup dengan berjualan kue buatannya. Kadang dibantu oleh anaknya,  ikut berjualan keliling, setelah sekolah.

“Ya!” seru Ambu, sebelum Tika menerangkan si pengarang berjilbab, yang datang ke sekolahnya itu. “Dari namanya, ambu tebak ia Entin, teman Ambu di SD Dewi Sartika dulu.”

“Oh ...!” seru Tika kaget.

Ambu sekarang yang mencekal lengan Tika. Lalu dia melambaikan tangan untuk menghentikan Angkot hijau, yang akan menuju Jalan Merdeka.

“Ayo, sekarang kita ke toko buku, dan beli buku Entin itu!” katanya.

***

 

Tika membaca habis “Sarinah dari Hegarmanah” sampai dua kali. Ia semakin ber-keinginan untuk bertemu dengan Bu Entin Wardhani, yang ternyata memang dikenal ambunya. Sebagai teman yang satu kelas ketika sama-sama duduk di SD Dewi Sartika.

“Kamu belum juga bisa menemui Bu Entin teman Ambu itu?”

“Ya, belum, Ambu. Kan Tika sekolah, dan pulang sekolah membantu beres-beres di rumah. Ambu sendiri  bekerja di kebun bunga,” jawab Tika.

            Ambu sadar, untuk mencari Entin, pengarang itu, memerlukan ongkos naik angkot. Apalagi setelah diketahui, kalau pengarang buku temannya itu, tinggal di Bandung Selatan. Tepatnya di daerah Ciwidey. Jaraknya cukup jauh dari Cihideung.

***

Sabtu sore, di perempatan Dago, langitnya cerah. Ambu berdiri di tepi sisi kiri, dari arah Dago atas. Ia bergegas, kalau lampu menyala merah. Dengan tangannya, ia mengacungkan gladiol putih dan mawar merah. Kembang-kembang yang ia tanam, di pekarangan keluarga Bu Halimah. Keluarga yang diikuti sejak enam tahun lalu. Sehingga ia boleh tinggal di bagian kiri rumah induk, bersama Sartika.

Di pojok lampu merah, Tika masih jongkok memegang buku. Ia seperti tak mempedulikan sekeliling. Hanya sesekali mem-perhatikan ambunya yang menawarkan kembang potong, saat mobil-mobil berhenti di perem-patan itu.

Sebuah mobil biru laut berhenti. Lalu kacanya dengan lembut turun. Dan sebuah tangan melambai ke arah kiri, di mana Tika masih dengan bukunya.

“Badeee ...?” tawar Ambu ke dalam mobil itu.

Muncul wajah seorang wanita berka-camata. Ia menggeleng. “Saya mau melambai anak itu ....!” katanya.

Tak bisa tidak, Ambu mengernyitkan kening. Kenapa dengan Sartika? ”Ada apa dengan Tika...?”

“Dia ...dia ....”

“Ya, kenapa dengan Sartika?”

“Dia anak yang kemarin foto bersamaku. Dia yang sedang membaca buku saya. Saya tahu, karena sampulnya saya kenal betul.”

Ambu menarik kepalanya ke belakang. Lalu memperhatikan wanita di mobil biru laut itu. Namun belum ia mengerti yang dimaksud perempuan di dalam mobil dengan anaknya, lampu perempatan jalan menyala hijau.

Tiiiin ...!

Tika yang kaget dengan suara klakson itu, menengok. Ia melihat ambu panik di tengah mobil, yang beruntun untuk melewati lampu merah.  Hampir  saja terserempet sepeda mo-tor yang berjalan di sisi kiri mobil biru laut.

“Ambuuu ...hati-hati!”

            Ambu jatuh. Walau tidak ada kendaraan menabraknya. Tika segera meng-hambur ke arah tubuh, yang terduduk di aspal jalan.

“Ambu tidak apa-apa?” gandeng Tika. Ia menuntun ibunya yang tidak terluka.

“Ya, hanya kaget.”

“Syukurlah,” desis Tika.

Ketika keduanya sudah menepi, datang seorang wanita yang turun dari mobil biru laut. Ia segera membimbing Tika. Juga mencoba meraih tangan Ambu.

“Bu Entiiiin ...!” seru Tika.

Wanita itu tersenyum. Namun ia lebih mendahulukan anak dan ambunya itu ke tepi jalan, agar aman.

“Maaf, saya membuat ibu ini hampir celaka,” kata wanita yang tidak lain Bu Entin Wardhani.

“Tidak. Bukan .... karena ... eh! Ini Bu Entin ....” sahut Ambu tergagap.

Tika yang mulai tenang, segera teringat ambunya yang menyebut Bu Entin adalah teman sekelasnya dulu. Ketika sama-sama duduk di SD Dewi Sartika. “Ini ambu saya, Bu Entin.”

“Oh,” sebut wanita itu. Lalu mengulurkan tangan. Namun ketika tangannya dijabat ambu, ibu Tika itu memegangnya erat-erat. Kemudian ia menempelkan telapak tangan wanita yang disebut pengarang oleh Tika, anaknya.

“Entin, ini aku, Hamidah. Siswi yang kausebut pendiam tapi sering kau ajak belajar bersama, kalau ada pe-er bahasa Indonesia,” ujar Ambu.

            Wanita yang dipanggil Entin itu memajukan wajahnya. Untuk menegaskan siapa Hamidah temannya itu.

Ambu tersenyum. Lalu ia mengulurkan tangannya. Dan pelan-pelan, ia mencopot kacamata berbingkai hitam Entin. Tanpa ragu, ia mencolek titik hitam sisi kanan hidung tinggi itu.

“Henteu lepat ... kau memang yang sejak dulu pintar mengarang. Yang bisa menceritakan lebaran di rumah dinas ayahmu, di perkebunan teh itu. Ayahmu benar menyelokahkan kamu ke sekolah terbaik. Bahkan sampai ke Inggris sana....”

Tanpa berkata-kata lagi, Entin pun menubruk tubuh wanita kurus itu. Ia memeluk-nya kuat-kuat. “Ya, Allah ....”

Ambu memeluk kuat sambil mengelus-elus punggung temannya itu. Airmatanya berderai membasahi punggung baju halus Entin.

“Inilah aku, Tin...,” desis Ambu.

“Ya, ya ....”

“Ya, apa? Kautahu temanmu ini hanya seorang wanita buruh bunga potong, di Cihideung?”

Entin menepuk-nepuk dan berganti mengelus tubuh kurus itu. Ia tak bisa berkata-kata lagi.

“Sebaiknya, kita ke mobilku. Aku ingin antar Teh Midah ....”

Ambu menurut. Tika yang sejak tadi diam, bersikap sama. Mereka berjalan menuju mobil biru laut, yang terparkir di seberang perempatan Dago, yang menuju arah bawah Jalan Insinyur Juanda.

***

Ternyata pertemuan di rumah Bu Halimah tak kalah indah. Karena Entin adalah sahabat adik Bu Halimah, Herlina. Mereka pernah sama-sama tinggal di daerah perkebunan teh.

“Kamu menjadi orang hebat,” puji Bu Halimah.

“Ah, Ceu Halimah ...kudengar, Ceuceu juga menjadi pemilik kebun bunga potong di daerah sini.”

Mereka saling bercerita. Hingga akhirnya, Entin berkeinginan menulis tentang berkebun bunga potong daerah Cihideung itu.

“Ya, setuju. Teteh punya banyak cerita orang-orang Cihideung berkebun bunga potong,” sambut Bu Halimah. “Dari tempat bernama Cihideung, yang berarti air yang hitam, banyak kisahnya. Dari sinilah bunga potong seperti anyelir, sedap malam dan gladiol dihasilkan. Sehinga Bandung tetap punya nama sebagai Kota Kembang,” lanjutnya.

“Itu dia!”

Lama mereka berbincang. Namun Entin yang ditemani sopir pun berpamit. Untuk datang lagi, dan lagi. Akan mengumpulkan kisah para pemilik kebun bunga potong, yang menyebar di daerah Cihideung. Sampai kemu-dian menyebut nama Sartika.

“Aku akan meminta bantuan Tika ....”

Tika kaget.

“Ya, kamu Tika.”

“Kenapa saya, Tante ...eh, Bu Entin.”

Saat itulah Ambu atau Hamidah yang sahabat Entin, memegang tangan pengarang itu. Pengarang yang bukunya sengaja dibeli oleh anaknya, ketika ulang tahun kesebelas kemarin.

“Ijinkan dia belajar darimu Entin. Dia sudah membacanya berkali-kali bukumu yang berjudul Sarinah dari Hegarmanah itu ....”

Entin tersenyum.

“Makanya saya memilihnya untuk mem-bantu dalam penulisan kali ini,” jelas Entin. “Ia biarkan ia bercerita, sebagai anak yang hidup di Cihideung ini. Perlu Teh Midah ketahui. Ia satu-satunya anak yang bertanya dengan cerdas. saat saya berkisah buku itu di sekolahnya.”

Tika yang masih memegangi buku karangan Entin itu menunduk. Dadanya naik-turun tak beraturan. Antara bangga, bingung dan tak mengerti harus bekata apa.

“Apa pertanyaanmu kepada Tante kema-rin di sekolahmu, Tika?”

Entin sengaja menyebutkan dirinya Tente kepada Tika. Biar membuat Tika merasa dekat, dan tidak gugup. Kalau pengarang di hadapan-nya adalah sahabat ibunya yang dipanggil Ambu.

“Kenapa judulnya Sarinah dari Hegar-manah....”

Entin menjentikkan jarinya. Bunyi cukup keras. Persis seperti jentikan ambu.

“Teh Midah, dulu kita berdua sering melakukan itu, bukan? Kalau kita berdua setuju untuk belajar bersama ....”

Ambu tertawa.

“Dan ....” potong Ambu.

“Untuk pergi ke perpustakaan Kota!” sambung Entin meriah suaranya.

Tika merasa senang sekali. Ia seperti mimpi. Apalagi melihat ambu yang wajahnya berseri-seri. Belum pernah ia menemukan wajah ibunya yang amat cerah. Ditambah kata-kata yang membuat dadanya ingin meledak.

“Aku tidak bisa mengarang sehebat kamu, Entin. Padahal dulu kamu orang yang paling memujiku. Meskipun kuminta jangan di depan teman-teman,” ungkap Ambu. Suaranya serak, menahan isak tangis. “Tapi sekarang pun tetap bangga. Karena aku merasakan Sartika menuruni darahku. Mudah-mudahan ia menjadi mawar yang mengharumkan ....”

Entin Wardhani mengangkat tangannya tinggi-tinggi secara terbuka. Disaksikan oleh Bu Halimah yang matanya berkaca-kaca.

 

***

 

Comments


EmoticonEmoticon