Penerbit SituSeni: ZIARAH INGATAN
Tampilkan postingan dengan label ZIARAH INGATAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ZIARAH INGATAN. Tampilkan semua postingan

Senin, 31 Mei 2021

TERSESAT DI KOTA PERT - Bagian 2

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Kira-kira 20 menit sebelum mendarat, lambung pesawat disemprot dengan ‘disinfektan spray’, untuk membunuh kemungkinan terbawanya virus atau bakteri dari Jakarta oleh para penumpang. Penyemprotan disinfektan ini merupakan peraturan pemerintah Australia yang dijalankan dengan ketat dan disiplin.

Terutama untuk pesawat yang datang dari Indonesia, menurut kawan saya yang kelak menerima kedatangan saya di Perth, yaitu Mas Bambang Purwoko, pemerintah Australia tampak seperti sentimen, dan memandang bangsa kita itu penyatakitan. Sementara pesawat dari luar negeri yang akan masuk ke Bandara Soekarno Hatta, tak pernah disemprot dengan cairan apapun.

Singkat cerita, Garuda mendarat di Bandara Udara Internasional Perth, yang dalam website-nya memiliki beberapa sebutan: IATA: PER, ICAO: YPPH). Semua penumpang dari luar negeri, di bandara udara negara manapun, harus masuk ke antrian pemeriksaan visa dan passport, demikian pun kami.

Namun sial, English conversation aku dan Yoyo bisa dikatakan sangat buruk, sehingga ketika diwawancara di desk pemeriksaan passport, aku dan Yoyo tak mengerti pertanyaan mereka, dan tak bisa menjawab. Sungguh malu keudikan kami kala itu. Sekarang sih insya Allah, rada bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris untuk kelas beginner dan dengan jurus nekat. Akhirnya kami diarahkan untuk memasuki ruangan khusus, guna pemeriksaan passport dan administrasi.

Seseorang mengantarkan kami ke ruangan wawancara itu. Tak lama berselang, masuk ke ruangan itu seorang petugas bandara berseragam putih hitam ke atas dan bawahannya, seperti seragam yang digunakan pilot. Kami ditanya ini dan itu dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Inti dari sederet pertanyaan itu adalah, apa tujuan ke Australia? Apa di Australia ada saudara atau teman? Membawa apa saja kami. Dan, ini yang paling menyesakkan, membawa uang berapa dolar?
Aku menunjukkan uang 100 USD, dan beberapa lembar puluhan dolar USD. Kami berdua, tidak datang untuk berdagang dan juga mencari kerja. Kami hanya ikut mampir di Perth, selanjutnya akan bertolak dengan kereta api ke Canbera, dan selanjutnya menuju kota Wolongong, untuk ikut Festival Teater Kampus di Wolongong University. Kutunjukkan surat undangan festival dari panitia, juga surat rekomendasi dari pimpinan kampus kami, IKIP Bandung (Sekarang UPI), tentang kepesertaan kami.
Kami terpahami bukan gembel, bukan pencari kerja, dan bukan untuk hura-hura. Lega, wawancara lulus. Kami tidak akan dideportasi.

Lalu kami disuruh masuk ke ruangan lain. Nah ini benar-benar mengagetkan dan di luar dugaan. Muncul seekor anjing yang besar bersama pawangnya, tentu dikasih ikatan rante. Saking besarnya anjing itu, saat ia tengadah, kepalanya hampir menyentuh kepalaku. Semula kupikir ia anak kuda. Aku ketakutan dan cemas.
“Ini apa?”

Anjing itu membaui kami, lalu menggongong tak henti, dan petugas segera memeriksa jaketku. Astagfirullah. Petugas mengeluarkan saset obat kusimpan di jaketku.

“Itu antimo. Obat untuk yang tidak bisa tidur,” jawabku, kepada petugas yang tadi mewawanacarai kami.

Aku terserang insomnia, mungkin karena terlalu banyak keinginan, dan terus bergentayangan di kepala. Betapa sulit untuk tidur. Nah, salah satu manfaat antimo, selain sebagai obat mabok, juga bisa jadi obat tidur bila ditenggak langsung dua tablet. Karena sulit tidur saat menghadapi persiapan ikut Festival Teater Kampus itu, aku sering menenggak antimo, hingga kebawa ke Australia.

Obat itu diambil, lalu anjing membaui kami lagi. Kali ini tidak menggogong, malah anjing itu berlalu dengan tetap lehernya dirante. Sang pawang mengikutinya.

Setelah lolos dari pemeriksaan anjing, kami pun dipersilahkan keluar dari front desc imigrasi. Ransel dan kardus yang kami bawa, sudah ada di pinggir, diambilkan oleh petugas, di antrian untuk membawa barang bagasi. Petugas memeriksa tiket kami, dan ia bilang “Ok,”, yang artinya kami boleh membawa ransel dan kardus yang isinya booklet pertunjukan teater yang akan dibagikan kepada penonton, dalam festival teater di Wolongong University itu.

Ruangan di tempat mengambil barang bagasi sudah sepi, karena memang kamilah penumpang yang terakhir berada di ruangan itu, dan hanya ada satu petugas di sana. Kami telat sampai ke sana, jelas karena harus menjalani peristiwa wawancara semi introgasi itu. Moral dari lamanya proses izin keluar itu, mendatangkan motivasi untukku belajar bahasa Inggris percakapan.

Dalam pendidikan di Indonesia, setelah sekarang saya renungkan, ada yang keliru. Siswa belajar langsung tulis baca, yang merupakan keterampilan ketiga dan keempat, setelah pelajaran menyimak dan berbicara. Ini sebenarnya ganjil, sebab saat manusia berkomunikasi, cenderung lebih banyak menggunakan bahasa lisan, dan bukan bahasa tulisan.

Semestinya pelajaran bahasa asing, temasuk Arab dan Inggris, itu dimulai dari pelajaran menyimak atau mendengarkan, kalau bisa, mendengarkan kosakata langsung dari native speaker. Setelah mendengar dengan baik, barulah kita belajar bicara. Pelajaran tulis baca bahasa asing bukan tidak penting, tapi nanti saja kalau sudah bisa ngomong bahasa asing dengan benar. Tapi kita bisa memahaminya, kampus-kampus tak akan mau mengeluarkan dana untuk mendatangkan native speaker.

Para dosen bahasa Inggris pun, sebenarnya belum tentu bisa bicara bahasa Inggris dengan fasih. Mereka hanya paham grammer. Beruntunglah sekarang ini kita memasuki era transparansi informasi, dan era sosmed yang melintas batas. Pelajaran listening bisa dilakukan lewat youtube.

Jika Anda ingin belajar bahasa asing, misalnya bahasa Arab, menurut saya, daripada menghabiskan dana, waktu, dan tenaga, mendingan menjadi TKI ke Arab, setelah tiga tahun bekerja di sana, Anda akan bisa bahasa Arab percakapan. (Bersambung).

Sumber Foto: Suara.com




Jumat, 28 Mei 2021

TERSESAT DI KOTA PERTH - Bagian 1


Oleh Doddi Ahmad Fauji


(Bukan catatan seorang 'backpacker)

Menuliskan ‘sesuatu’ yang telah lama berlalu, bagi saya, ini menjadi sarana untuk mengasah ingatan. Beruntunglah niat untuk menuliskan yang sudah lewat itu, kini terdukung oleh adanya mesin telusur informasi di internet lewat Paman Goo, untuk mengakuratkan data. Kota Perth misalnya, seberapa luaskah Ibu Kota Australia Barat yang pernah kumasuki itu?


Mengasah ingatan amat penting, Kawan. Memasuki usia setengah Abad, adalah memasuki usia kemunduran kinerja tubuh, termasuk otak. Nah, bila tidak diasah itu ingatan, bisa saja banyak pengalaman dan pengetahuan, bacaan serta hapalan, perlahan menguap karena kinerja otak menuju ke arah berkurang. Eh maaf, bukan maksud untuk berteori atau hendak menakut-nakuti. Tapi ini penting untuk disadari selalu, seseorang disebut pintar atau apalagi cerdas, salah satunya dipicu oleh daya ingat.


Tahukah Anda, warga Eskimo mendiami kutub sebelah mana? Jika Anda meraba-raba untuk menjawabnya, bisa jadi ingatan Anda tentang pelajaran geografi yang pernah dipelajari pada masa SMA, kini telah menguap. Namun bila dengan tegas menjawab orang Eskimo mendiami Kutub Utara dengan haqul yakin, berarti daya ingat kita tidak seluruhnya menguap.


Nah, ada kejadian atau peristiwa di masa lalu, ada pelajaran atau hapalan di masa lalu, yang masih cukup penting untuk selalu kita ingat, sekalipun teknologi berkembang pesat, dan meskipun pola peradaban menyuguhkan banyak varian yang juga harus diingat. Karena ternyata, masa lalu tidak seluruhnya usang, tidak semuanya terkubur. Ada di antaranya yang merupakan jejak sejarah, dan sejarah harus dituliskan, untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan generasi ke depan, untuk fondasi dari bangunan peradaban yang akan datang. Eropa maju, salah satunya karena mereka selalu becermin pada sejarah. Juga China kini melesat, sebab mereka mendokumentasikan kearifan lokal leluhurnya dalam mengatasi masalah kehidupan.


Catatan penting, sebelum melanjutkan kisah kisah sesungguhnya yang ingin saya ceritakan, adalah bahwa seseorang menjadi cerdas atau pintar, adalah karena tiga faktor ini: 1) daya ingat yang kuat, 2) Kemampuan analisis yang tajam, dan 3) mempelajari teori dan trik-trik teknikal untuk memecahkan sekian masalah.


Nomor tiga terkesan teoretis, namun ingin saya jelaskan seperti ini. Dari kecil, saya diajarkan untuk menyebutkan angka secara berurut dengan cepat dan tepat. Lafalkan dengan suara lantang angka dari 1 sampai 100 secepatnya dan harus tepat, lalu setelah itu, lafalkan angka secara urutan kebalikannya, dari 100 sampai 1, dengan cepat dan harus tepat. Lafalkan juga perkalian dari 1X 1 hingga 9 X 9, dan lalu lafalkan juga pembagian dari 1 : 1, hingga 99 : 9, serta lafalkan kebalikannya. Ya, ini trik untuk mengingat hitungan matematis.


Kembali ke lajur utama, saya coba mengingat tanggal persis atau hari apa pertama kali saya berkunjung ke luar negeri, tepatnya ke kota Perth, Australia Barat. Sungguh saya lupa, tapi saya ingat itu terjadi di Bulan September tahun 1995, bersama teman karib saya, Yoyo Yogasmana. Mungkin suatu hari akan ketemu data yang tepat, untuk menentukan tanggal berapa dan hari apa keberangkatan itu. Tapi yang jelas, dari Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, pesawat Garuda yang kami tumpangi, berangkat hampir Magrib, dan pesawat itu menempuh perjalanan sekira 4 jam. Waktu Kota Perth lebih cepat satu jam dari Jakarta. Sampai di Perth, sekira pukul 22.00 waktu setempat, atau pukul 21.00 di Jakarta. Di dalam pesawat, ada pengumuman penumpang tidak boleh merokok, tapi kami diperbolehkan minta anggur. Kami dijamu makanan kemas khusus pesawat, dan saya selalu berusaha menikmatinya.


Ini kali kedua saya naik pesawat terbang. Kali pertama terjadi tahun 1993, dari Surabaya ke Banjarmasin, juga dengan Garuda Airline, untuk mengikuti Seminar Sastra Indonesia di Universitas Lambung Mangkurat. Bisa naik pesawat tebang, maskapai Garuda pula, kala itu, terasa seperti raja, karena kita diperlakukan secara istimewa, misalnya saat kami terlambat harus naik pesawat, itu dijemput dengan bus di dalam bandara, padahal saya berdua bersama Kang Erwna Juhara yang terlambat. Keterlambatan ini terjadi karena mis-informasi, dan karena ini pengalaman pertama kami naik pesawat pada 1993 itu.


Sebetulnya ada rasa minder untuk mengisahkan pengalaman ini, bila saya membandingkannya dengan pencapaian dan prestasi orang-oang keren. Namun saya sadar, tidak semua orang bisa seperti yang mendapatkan pengalaman yang pernah saya telusuri. Pengalaman adalah kekayaan ketujuh manusia, setelah nyawa, kesehatan, harapan, semangat, kekeluargaan, dan pertemanan. (Bersambung)

Sumber foto: https://blog.yuktravel.com/