Rabu, 09 Juni 2021
Rabu, 02 Juni 2021
METRO MOSKWA - Puisi Benny Benke
Kau boleh membenci Moskwa kerana puluhan alasan. Mungkin macetnya tak ketulungan. Serta satu dua preman kelas kampungan yang gemar merisak persona kulit berwarna. Juga dingin yang menikam hingga dasar tulang.
Tapi ada berbilang-bilang alasan menemukan keindahan di praja tua ini.
Masuklah ke dalam tanah terdalam, pakansi ke sistem transportasinya. Tempat Metro Moskwa berada. Seketika itu pula, terperangah kau dibuatnya.
Di sini, maha karya seni menemukan rumahnya. Menyempurna, menabalkan citarasa adi luhung kejayaan seni era Soviet lama.
Bukan semata marmer yang mengilap, patung yang agung, mosaik yang asyik, kaca patri yang setiti, lampu gantung yang kirana, relief dasar yang luar biasa, warna warni yang memanjakan mata, dan detail bahari lainnya.
Bahkan simbol Soviet baheula, dengan palu aritnya, malih rupa memesona. Jauh dari kesan angkernya. Membangun sebuah arsitektur puncak tiada sanding, tiada banding.
Ketuklah pintu Park Pobedy di distrik Dorogomilovo, lalu pilih jalur Arbatsko–Pokrovskaya, maka lekas dan pasti kau akan sampai jantung kota di Moskwa. Melewati puluhan stasiun dengan ornamen super memesona.
Lalu mengacaklah. Seperti para tualang, melunaskan kengawurannya, memilih rute mana saja. Ke manapun, asal tidak berpikir pulang.
Sejumlah kawan berpesan, naik saja jalur Sokolnicheskaya, yang mengada sejak 1935. Kawan lainnya menjaminkan tiada keelokan mengalahkan jalur Koltsevaya. Kompatirot sebelahnya berkata, Komsomolskaya, Krasnye vorota, dan Kropotkinskaya, adalah jalur juara. Saking berestetikanya.
Sampai-sampai kita berkata, ini metro atau museum. Metro atau ballrooms. Metro apa galeri seni rupa. Metro apa istana. Kerana saking mahardikanya.
Membuat
kita enggan meninggalkannya. Ingin berlama-lama di rumah Metro Moskwa yang
raharja.
KRASNAYA PLOSCHAD - Puisi Benny Benke
Meski pada mulanya serupa daerah kumuh, tempat petani papa dan penjahat teri berumah di sana.
Sebelum akhirnya menyempurna. Dengan kehadiran St. Basil’s Katedral, menyusul kemudian the State Historical Museum dan GUM Department Store di belakangnya.
Memperkaya Istana Kremlin Agung di punggung bukit Borovitsky, mausoleum pemimpin revolusi Vladimir Lenin, terpacak digdaya.
Hingga akhirnya ribuan, mungkin jutaan tentara telah berparade dengan gagah dan megah di pelataran dan halaman Krasnaya Ploschad.
Seperti hendak mengabarkan kepada dunia; Kami terlalu perkasa untuk dirubuhkan sebagai negara.
Meski bayarannya, tak terkira. Di masa Ivan the Terrible dan Peter Agung, saja tak berbilang kepala lepas dari badannya. Jika Anda coba-coba memunggungi tahta.
Kini, kami tak lebih dari tempat pakansi yang penuh rona. Loka muda mudi bersua, bercengkrama tentang segala.
Asal jangan berpikir tentang politik dan negara. Kau akan baik-baik saja.
Diambil dari bakal antologi MENGHENINGKAN PUISI
INDONESIA RAYA DI TSARSKOYE SELO - Puisi Benny Benke
Romo Mudji termangu. Ngungun dan haru, saat Indonesia Raya kumandang di negeri tandang.
Di pelataran depan Tsarskoye Selo, sepelemparan waktu dari St. Petersburg, Romo trenyuh hatinya.
"Tak pernah aku seterharu ini, menyimak Indonesia Raya!"
Jarak memang mampu melempar melankoli manusia pada kampung halaman, yang selama ini jarang kita sadari.
Demikianlah Romo Mudji di Desa Para Tsar, desa para petinggi negeri dan bangsawan semasa kekaisaran Rusia berjaya, merehatkan penatnya. Tetirah menyerah pada suasana desa.
Di Tsarskoye Selo, Romo Mudji layaknya para nomenklatur, elite Soviet pada sebuah masa, berpasrah pada Indonesia Raya.
Yang
dikumandangkan lima musisi tua dari negeri jauh, dengan sejumlah alat tiupnya.
Puisi ini diambil dari bakal antologi MENGHENINGKAN PUISI
Puisi lainnya dapat disimak di situseni.my.id
Selasa, 01 Juni 2021
FOLLOW ME? - Puisi Willy Fahmy Agiska
terus saja ia dorong
nama besarnya
ke atas bukit
ke atas karang
ke bintang-bintang*
Sesekali
mendengar podcast angin
atau hal ikhwal mungkin mungkin
Sesekali yang lain lagi
persuasi ke beberapa burung
atau langit biru-biru cangcut
supaya lek en sabret sabret
konten resah plus keluh kesahnya
Beberapa puluh tahun kemudian
yang masih gitu-gitu aja,
masih bersama sisifus
dan tokoh si siput aja,
tiba juga ia akhirnya
bersama nama besar-besarnya
di atas bukit
di atas karang
di bintang-bintang
Lantas digulingkannya segera
namanya yang besar-besar itu
ke tempat semulanya bermula
Cuma mengernyitkan dahi ia
ketika sepetak bumi datar
bersungut-sungut, mungkin kepadanya:
anying... nama siapa inih?
anying... menimpa aing, anying...
Di kejauhan,
memang di kejauhan,
aing-lirik cuma ngakak kecepirit
sambil botol bintang dicekik
plus ngelamunin peredaran uang
atau arsip data diri digital,
yang sebenernya
lagi pada jalan kemana aja sih...
Sebentar. Sekilas instastory:
Euh, anying. Keheula atuh anying
lalayangan aing belum siap diaduin
atuh anying lah
teriak si bocil komplek
sambil mewek-mewek
gulung golongan tali layangannya
siang-siang, di area jalan
yang mengarah langsung
ke akademi tentara...
2020
Jumat, 28 Mei 2021
SEKALIPUN - Mengenang Amrzan Lubis
Doddi Ahmad Fauji
SEKALIPUN
- Mengenang Amarzan Lubis
Kita tak pernah berkarib ria
namun betapa penyesalan ini telah menyelimuti seluruh langit
seakan gerhana total, tak menyisakan seutas pun cahaya
karena bahkan aku tak sempat mendengar raung sirine
yang mengantarkan-mu ke rumah cahaya
Kita tak pernah berpapasan, namun ingin kukatakan
kepahitan demi kepahitan telah kukunyah habis
jadi obat luka hati, meski kesakitanku tak kunjung sembuh
sejak luka hati tak terobati, aku mencandu filsafat pemberontakan
tiap kurasakan sesuatu tampak ganjil dan tak adil
aku akan melawan, sekalipun terhempas
Membaca kisah-mu, terasa benar mungil kelingkingku
terlalu berani untuk meruntuhkan tiang langit
hingga aku terpental dan terpuruk begitu dalam
tapi aku jadi tertawa, karena ada yang lebih gila
dari si pemurung ini, yang mengurung diri
bersama tumpukan sampah dan belatung
aku tertawa sekaligus menangis
bagaimana bisa seseorang bertahan hidup
dengan memanggang tikus di atas nyala lilin
lalu disantap dengan lahap
itulah sepenggal fragmen kegilaan-mu, Amarzan!
Bandung, 2019
Foto dari Majalah Tempo: tempo.co
NYANYIAN DARI SERUYAN
Puisi Pamflet Doddi Ahmad Fauji
NYANYIAN DARI SERUYAN
Dari pucuk-pucuk daun sawit
jerit tangis bangsaku melengking ke angkasa
gendang telinga langit robek, lalu infeksi
mengucurlah nanah sederas hujan menggebu
di tanah mantan kali yang telah lama mati
nanah bercampur limbah kilang minyak sawit
banjir bandanglah tangis warga Borneo
dan bumi mayapada ikut sesak nafas
Wahai warga dunia yang tercinta
mengapa kalian sebut Kalimantan
serupa paru-paru buana
tapi kalian biarkan hutan ulin dibabat
kayu kamper digergaji dan dijual ke Jawa
lahan gambut dan perdu dibakar
berganti hamparan ladang sawit
Para petani beralih masuk pabrik minyak
tiap pagi menyanyikan lagu kebangsaan
tanah tumpah darahku yang membanjir
dan monyet-monyet jadi pengemis
di pinggiran jalan, berharap sesuap
berkah untuk mengganjal lambung
Sepanjang perjalanan dari Sampit ke Seruyan
mengalun lagu kalah orang usiran
mengapa bangsaku jadi budak di negeri sendiri
mengapa tanah luas bikin otak malah sempit
mengapa berkah justru jadi sumber musibah
dan asap-asap bakaran hutan membumbung
mengiringi ratapan anak bangsaku
yang menguar dari pucuk-pucuk sawit
Inilah nyanyian paling fals nan sumbang
yang meninabobokan malam-malamku
Bandung, 2021
Kamis, 27 Mei 2021
EMPAT SAJAK SUNDA WILLY FAHMY AGISKA
Ngetém di angkot Stasion-Lembang
setengah jam.
Ngetém di haté manéh
tekor umur sorangan.
Nggeus atuh, rup.
Tong ngiriman waé papan ketik
atawa sajak ka haté aing. Rudet.
Kop lebok,
nasib mah anu manéh.
2021
CUNGUR
Masih betah kénéh ning, mandi beurang
di wc luar kosan euweuh saungan
(jiga haté manéh pisan)
Tuh, tempo ku sia nepi edan.
Langit heurin ku awan
jeung beungeut-beungeut babaturan
ngagarantung, kakalangkangan, laliwatan.
Cungur, euweuh hirup anu bebas.
2021
LATIHAN NGETIK
STATUS DEUI
Hey, Zuckerberg
Di mana manéh
nunda uteuk ti basa
jeung haté aing siah,
di mana
Tong olo-olo kitu lah.
Cik, ménta aplikasi.
Loba teuing leungeun
paridato, rudet.
2021
BUND
Ari si bakékok kamana, bund?
Naha bet ayeuna mah
meni euweuh san ngahudangkeun lah.
Sakalian wéh atuh
tutupan ku daun cau aing téh.
(Ti beulah ditu, joljol aya loba “bakékok”
cenah, ceuk cungur-cungur hayam batur)
Koplok
2021
Willy Fahmy Agiska, lahir di Ciamis, taun 1992. Sapopoé mancén gawé di Bandung jadi rédaktur sastra Buruan.co. Sok aktip di komunitas sastra ASAS UPI. Seseringna nyerat puisi dina basa Indonésia, bari sasakali nyerat puisi dina basa Sunda. Buku kumpulan puisi basa Indonésia-na, Mencatat Demam (2018, Kentja Press) kungsi dilélér hadiah sastra Hari Puisi Indonésia katégori “Buku Puisi Terbaik Anugerah HPI 2019”.
Email: willyfahmyagiska@gmail.com
No. Hp: 089627002433 (Whatsapp) atau 081211830880 (Telepon)