Penerbit SituSeni: PUISI
Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juni 2021

CAHAYA, puisi Eka Ros

CAHAYA

Dari cahaya menyeruak kehidupan, mengurangkan kelaparan.
Dengan cahaya, jamur pucat sekarat
Perlahan hangus, lantas sirna
Kayu-kayu terkarsinogen
Bagai baru sembuh dari opname
Tegak mengokoh bersih bening
Mengabarkan kesehatan
memantulkan kencana pada serat-serat coklat muda

Kehidupan rumah tangga berseri
Dengan perjamuan alam
Tuhan menebarkan rizki
Tanpa manusia memeras keringat
Cukup membuka ruang-ruang bagi cahaya
Maka Tangan Tuhan mengirim apel, anggur, cabe rawit
Meja perasmanan mengukirkan senyum kehangatan
Jiwa-jiwa sehat dengan syukurnya
Akur dalam kenyang tanpa kekurangan.
Itulah mukjijat cahaya.

K' 🌹

26 Maret 2021

JIKA

Oleh K' 🌹

Jika penyakit hati bertamu
Jangan biarkan sepi mencarimu
Lalu ia menggodamu
Untuk memelosok jauh ke dalam gelap rimba
Syukuri kakimu
Pasakkan ia ke bumi
Tegakkan jiwa, tengadah ke langit
Temukan gelimang bintang
Kuning kemuning mengemas
Takjubkan pikirmu pada keluasan jagat
Di sana, tak kan kau temukan
Kesempitan 
Yang begitu mudah menggelincirkan
Maka
Seperti bintang di langit
Semarakanlah hatimu.
Jangan beri kesempatan ranjau ranjau risau memerosokkanmu
Pelihara bahagia,
walau tak bahagia
Goreskan kembang-kembang senyum
agar membekas di hati yang mampir menatapmu

Kmsn, 1 April 2021


IBROH MUSIBAH

Oleh K' 🌹

Kengerian, kegetiran adalah manifestasi kepapaan insan
Peristiwa dahsyat menggali potensi iman manusia
 untuk kembali kepada fitrah
Mengingat hakikat hidup,
Menerawang akhirat
Kefanaan itu nyata
Manakala dunia terlihat porak poranda
Gunung diledakkan, isinya dihamburkan
Tanah direkahkan, bumi diguncangkan
Manusia sempoyongan mencari pegangan
Dan laut memuntahkan gelombangnya
Air disurukkan, didesakkan pada kelenaan manusia nan hubuddunya
Semua adalah kasih sayang Sang Pencipta
Menegur makhluknya untuk kembali meluruskan diri
Menata, membenahi
Memulai lagi meniti dengan lebih hati-hati.

Maut mencabut dengan panca warna
Dan bagi yang hilang nyawa hakikat sama
Kesiapan bekal di tangan adakah memenuhi?
Dan yang dilepas dengan fenomena mencekam itu
Adalah hadiah baginya memupus dosa
Sedang bagi kita bungkusnya adalah hikmah.
Semoga kita dipelihara-Nya dalam husnul khotimah
Aamiin.

Bjr, 28 Apr' 21


SETITIK

Oleh K' 🌹

Setitik tidak berbalas sepercik
Apabila iklas turun ke tangan
menitipkan kemakmuran
Jangan katakan
Jangan diingat
Berjalanlah mengendap
Cari dan temukan mereka yang berpengharapan
Memberilah dengan sejuk
Tiuplah panas, dengan merunduk
Sembunyilah dari kekaguman alam
Mohon ampunlah kepada Sang Pencipta yang rido menitipkan
Yang bersamanya derajatmu mengentas
Desau angin berkabar ke penjuru langit
Malaikat menasbihkan
Tetaplah pada jalan setapak
Jalan orang orang yang menyederhanakan.

Semoga tercapai kemuliaan
dengan rasa tak menjadi sesiapa ....

Banjaran, 10 Mei 2021


KENANGAN

Kenangan merapuh luruh
dalam genangan melintas sunyi
Tiada yang abadi!
Kebersamaan betapa pun singkat
Betapa pun luka menikam
dalam renyah permainan lidah
Ataupun cuma karena hati rawan merajuk
Lalu saling bungkam dalam tahta ego
Kepergian itu mencekat
Rindu tak mengalir
Deras di dalam jadi hujan
Maafkan!
Untuk sepotong kisah
yang kini hanya serpih

Semoga aku, kamu
Tetap dalam ukhuah
Rentangan doa jadi jembatan silaturahim
Dalam kasih, tiada pisah

K' 🌹
8 Mei 2021

Rabu, 02 Juni 2021

GUNEMAN SIMPÉ - Sajak Maman, M.Pd.

Naon nu kedah dikedalkeun
cinta
cimata
atawa dosa doraka

nya asih nu wasa nyieuhkeun mongkléng
hiliwir angin ukur ngendagkeun kararas di pipir imah
salangkungna mah simpé
boa-boa piprésideneun, piustadeun, pigurueun
nu medal tina panglawungan rasa
x

METRO MOSKWA - Puisi Benny Benke

Kau boleh membenci Moskwa kerana puluhan alasan. Mungkin macetnya tak ketulungan. Serta satu dua preman kelas kampungan yang gemar merisak persona kulit berwarna. Juga dingin yang menikam hingga dasar tulang.

Tapi ada berbilang-bilang alasan menemukan keindahan di praja tua ini. 

Masuklah ke dalam tanah terdalam, pakansi ke sistem transportasinya. Tempat Metro Moskwa berada. Seketika itu pula, terperangah kau dibuatnya.

Di sini, maha karya seni menemukan rumahnya. Menyempurna, menabalkan citarasa adi luhung kejayaan seni era Soviet lama.

Bukan semata marmer yang mengilap, patung yang agung, mosaik yang asyik, kaca patri yang setiti, lampu gantung yang kirana, relief dasar yang luar biasa, warna warni yang memanjakan mata, dan detail bahari lainnya.

Bahkan simbol Soviet baheula, dengan palu aritnya, malih rupa memesona. Jauh dari kesan angkernya. Membangun sebuah arsitektur puncak tiada sanding, tiada banding.

Ketuklah pintu Park Pobedy di distrik Dorogomilovo, lalu pilih jalur Arbatsko–Pokrovskaya, maka lekas dan pasti kau akan sampai jantung kota di Moskwa. Melewati puluhan stasiun dengan ornamen super memesona.

Lalu mengacaklah. Seperti para tualang, melunaskan kengawurannya, memilih rute mana saja. Ke manapun, asal tidak berpikir pulang.

Sejumlah kawan berpesan, naik saja jalur Sokolnicheskaya, yang mengada sejak 1935. Kawan lainnya menjaminkan tiada keelokan mengalahkan jalur Koltsevaya. Kompatirot sebelahnya berkata, Komsomolskaya, Krasnye vorota, dan Kropotkinskaya, adalah jalur juara. Saking berestetikanya.

Sampai-sampai kita berkata, ini metro atau museum. Metro atau ballrooms. Metro apa galeri seni rupa. Metro apa istana. Kerana saking mahardikanya.

Membuat kita enggan meninggalkannya. Ingin berlama-lama di rumah Metro Moskwa yang raharja.

KRASNAYA PLOSCHAD - Puisi Benny Benke

Ivan Yang Agung pasti tidak pernah menyangka. Lapangan Merah telah malih rupa sedemikian bercahaya.

Meski pada mulanya serupa daerah kumuh, tempat petani papa dan penjahat teri berumah di sana.

Sebelum akhirnya menyempurna. Dengan kehadiran St. Basil’s Katedral, menyusul kemudian the State Historical Museum dan GUM Department Store di belakangnya.

Memperkaya Istana Kremlin Agung di punggung bukit Borovitsky, mausoleum pemimpin revolusi Vladimir Lenin, terpacak digdaya.

Hingga akhirnya ribuan, mungkin jutaan tentara telah berparade dengan gagah dan megah di pelataran dan halaman Krasnaya Ploschad.

Seperti hendak mengabarkan kepada dunia; Kami terlalu perkasa untuk dirubuhkan sebagai negara.

Meski bayarannya, tak terkira. Di masa Ivan the Terrible dan Peter Agung, saja tak berbilang kepala lepas dari badannya. Jika Anda coba-coba memunggungi tahta.

Kini, kami tak lebih dari tempat pakansi yang penuh rona. Loka muda mudi bersua, bercengkrama tentang segala.

Asal jangan berpikir tentang politik dan negara. Kau akan baik-baik saja.


Diambil dari bakal antologi MENGHENINGKAN PUISI

INDONESIA RAYA DI TSARSKOYE SELO - Puisi Benny Benke


Romo Mudji termangu. Ngungun dan haru, saat Indonesia Raya kumandang di negeri tandang.

Di pelataran depan Tsarskoye Selo, sepelemparan waktu dari St. Petersburg, Romo trenyuh hatinya.

"Tak pernah aku seterharu ini, menyimak Indonesia Raya!"

Jarak memang mampu melempar melankoli manusia pada kampung halaman, yang selama ini jarang kita sadari.

Demikianlah Romo Mudji di Desa Para Tsar, desa para petinggi negeri dan bangsawan semasa kekaisaran Rusia berjaya, merehatkan penatnya. Tetirah menyerah pada suasana desa.

Di Tsarskoye Selo, Romo Mudji layaknya para nomenklatur, elite Soviet pada sebuah masa, berpasrah pada Indonesia Raya.

Yang dikumandangkan lima musisi tua dari negeri jauh, dengan sejumlah alat tiupnya.

Puisi ini diambil dari bakal antologi 
MENGHENINGKAN PUISI 
Puisi lainnya dapat disimak di situseni.my.id

Selasa, 01 Juni 2021

FOLLOW ME? - Puisi Willy Fahmy Agiska

Bersama sisifus
dan tokoh fabel si siput
terus saja ia dorong
nama besarnya
ke atas bukit
ke atas karang
ke bintang-bintang*

Sesekali
mendengar podcast angin
atau hal ikhwal mungkin mungkin

Sesekali yang lain lagi
persuasi ke beberapa burung
atau langit biru-biru cangcut
supaya lek en sabret sabret
konten resah plus keluh kesahnya

Beberapa puluh tahun kemudian
yang masih gitu-gitu aja,
masih bersama sisifus
dan tokoh si siput aja,
tiba juga ia akhirnya
bersama nama besar-besarnya
di atas bukit
di atas karang
di bintang-bintang

Lantas digulingkannya segera
namanya yang besar-besar itu
ke tempat semulanya bermula

Cuma mengernyitkan dahi ia
ketika sepetak bumi datar
bersungut-sungut, mungkin kepadanya:

anying... nama siapa inih?
anying... menimpa aing, anying...

Di kejauhan,
memang di kejauhan,
aing-lirik cuma ngakak kecepirit
sambil botol bintang dicekik
plus ngelamunin peredaran uang
atau arsip data diri digital,
yang sebenernya
lagi pada jalan kemana aja sih...

Sebentar. Sekilas instastory:

Euh, anying. Keheula atuh anying
lalayangan aing belum siap diaduin
atuh anying lah

teriak si bocil komplek
sambil mewek-mewek
gulung golongan tali layangannya
siang-siang, di area jalan
yang mengarah langsung
ke akademi tentara...


2020

Jumat, 28 Mei 2021

SEKALIPUN - Mengenang Amrzan Lubis

Doddi Ahmad Fauji

SEKALIPUN

 
- Mengenang Amarzan Lubis

Kita tak pernah berkarib ria
namun betapa penyesalan ini telah menyelimuti seluruh langit
seakan gerhana total, tak menyisakan seutas pun cahaya
karena bahkan aku tak sempat mendengar raung sirine
yang mengantarkan-mu ke rumah cahaya


Kita tak pernah berpapasan, namun ingin kukatakan
kepahitan demi kepahitan telah kukunyah habis
jadi obat luka hati, meski kesakitanku tak kunjung sembuh
sejak luka hati tak terobati, aku mencandu filsafat pemberontakan
tiap kurasakan sesuatu tampak ganjil dan tak adil
aku akan melawan, sekalipun terhempas


Membaca kisah-mu, terasa benar mungil kelingkingku
terlalu berani untuk meruntuhkan tiang langit
hingga aku terpental dan terpuruk begitu dalam
tapi aku jadi tertawa, karena ada yang lebih gila
dari si pemurung ini, yang mengurung diri
bersama tumpukan sampah dan belatung
aku tertawa sekaligus menangis
bagaimana bisa seseorang bertahan hidup
dengan memanggang tikus di atas nyala lilin
lalu disantap dengan lahap
itulah sepenggal fragmen kegilaan-mu, Amarzan!


Bandung, 2019


Amarzan Lubis adalah wartawan Harian Rakyat, yang ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Orde Baru, karena dituduh PKI gegara ia ikut dalam barisan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Untuk bertahan hidup, jangan tanya apa yang pernah ia makan, tapi tanyakan apa yang belum pernah ia makan. Ia pernah memakan daging tikus setelah ia panggang di atas nyala lilin!

Foto dari Majalah Tempo: tempo.co

NYANYIAN DARI SERUYAN

Puisi Pamflet Doddi Ahmad Fauji


NYANYIAN DARI SERUYAN


Dari pucuk-pucuk daun sawit
jerit tangis bangsaku melengking ke angkasa
gendang telinga langit robek, lalu infeksi
mengucurlah nanah sederas hujan menggebu
di tanah mantan kali yang telah lama mati
nanah bercampur limbah kilang minyak sawit
banjir bandanglah tangis warga Borneo
dan bumi mayapada ikut sesak nafas

Wahai warga dunia yang tercinta
mengapa kalian sebut Kalimantan
serupa paru-paru buana
tapi kalian biarkan hutan ulin dibabat
kayu kamper digergaji dan dijual ke Jawa
lahan gambut dan perdu dibakar
berganti hamparan ladang sawit

Para petani beralih masuk pabrik minyak
tiap pagi menyanyikan lagu kebangsaan
tanah tumpah darahku yang membanjir
dan monyet-monyet jadi pengemis
di pinggiran jalan, berharap sesuap
berkah untuk mengganjal lambung

Sepanjang perjalanan dari Sampit ke Seruyan
mengalun lagu kalah orang usiran
mengapa bangsaku jadi budak di negeri sendiri
mengapa tanah luas bikin otak malah sempit
mengapa berkah justru jadi sumber musibah
dan asap-asap bakaran hutan membumbung
mengiringi ratapan anak bangsaku
yang menguar dari pucuk-pucuk sawit

Inilah nyanyian paling fals nan sumbang
yang meninabobokan malam-malamku




Bandung, 2021

Kamis, 27 Mei 2021

EMPAT SAJAK SUNDA WILLY FAHMY AGISKA

HAR


Ngetém di angkot Stasion-Lembang
setengah jam.


Ngetém di haté manéh
tekor umur sorangan.


Nggeus atuh, rup.
Tong ngiriman waé papan ketik
atawa sajak ka haté aing. Rudet.


Kop lebok,
nasib mah anu manéh.


2021


CUNGUR


Masih betah kénéh ning, mandi beurang
di wc luar kosan euweuh saungan
(jiga haté manéh pisan)


Tuh, tempo ku sia nepi edan.


Langit heurin ku awan
jeung beungeut-beungeut babaturan
ngagarantung, kakalangkangan, laliwatan.


Cungur, euweuh hirup anu bebas.


2021


LATIHAN NGETIK
STATUS DEUI


Hey, Zuckerberg


Di mana manéh
nunda uteuk ti basa
jeung haté aing siah,
di mana


Tong olo-olo kitu lah.


Cik, ménta aplikasi.
Loba teuing leungeun
paridato, rudet.


2021


BUND


Ari si bakékok kamana, bund?


Naha bet ayeuna mah
meni euweuh san ngahudangkeun lah.


Sakalian wéh atuh
tutupan ku daun cau aing téh.


(Ti beulah ditu, joljol aya loba “bakékok”
cenah, ceuk cungur-cungur hayam batur)


Koplok


2021



Willy Fahmy Agiska, lahir di Ciamis, taun 1992. Sapopoé mancén gawé di Bandung jadi rédaktur sastra Buruan.co. Sok aktip di komunitas sastra ASAS UPI. Seseringna nyerat puisi dina basa Indonésia, bari sasakali nyerat puisi dina basa Sunda. Buku kumpulan puisi basa Indonésia-na, Mencatat Demam (2018, Kentja Press) kungsi dilélér hadiah sastra Hari Puisi Indonésia katégori “Buku Puisi Terbaik Anugerah HPI 2019”.




Email: willyfahmyagiska@gmail.com
No. Hp: 089627002433 (Whatsapp) atau 081211830880 (Telepon)