Penerbit SituSeni: DAF
Tampilkan postingan dengan label DAF. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DAF. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Juni 2021

ARAH KARYA SASTRA - Bagian 1

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Kenapa manusia mesti menulis, dan kenapa karya sastra mesti ditulis? Buat apa? Untuk apa?

Saya patut bersyukur, kini makin meruyak orang yang bergiat dalam menulis, termasuk menulis karya sastra, apakah itu puisi, prosa (drama jarang ditulis), pun artikel bebas alias esay. Dulu mah waktu kuliah tahun 1990 hingga 1997 (saya kuliah tepat waktu, 7 tahun), kawan yang suka menulis tidak sampai 25% dari jumlah yang ada. Sekarang di kampus, mahasiswa yang suka menulis bisa jadi lebih dari 50%. Juga masyarakat, termasuk tetangga, yang mulai menulis tampak makin meggeliat. Kemajuankah?

Saya bisa digolongkan ke dalam punggawa kelas puritan nan paedagogis, disebabkan saya kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, IKIP Loh., dan belum menjadi UPI Bandung, maka ujung dari aktivitas menulis termasuk karya kreatif sastra, bagi saya adalah sebagai sarana pendidikan. Diksi ‘sastra’ itu kan dari bahasa Sansakerta, yang artinya media pembelajaran. Sebetulnya jika ‘ngurek’ atau ‘neger’ belut pun jadi sarana pendidikan, maka ‘ngurek’ dan ‘neger’ harus disebut sebagai sastra pertunjukan, atau pertunjukan sastra.

Dengan kata lain, sastra itu adalah piranti yang berinisial l'art pour homme (kesenian untuk kemanusiaan), dan bukan semata seni untuk masturbasi seperti sekarang kian menggejala.

Adapun makna dan tujuan pendidikan, selalu dikembalikan ke Trilogi pendidikan yang dicetuskan oleh Mas Ki Hadjar Dewantara, yang bunyinya (sudah pada tahu kan?)

Pada era Mendikbud dijabat oleh kiyai Ing Wardiman Djojonegoro, suka ada plesetan dari ‘trilogi’ menjadi ‘caturlogi’ pendidikan, yang bunyinya begini:

1. Tut wuri handayani (Jika kau berada di belakang, maka beriloh dorongan kepada yang di depan).
2. Ing madya mangun karsa (jika kau berada di tengah, maka bangunlah gagasan).
3. Ing ngarsa sung tulada (jika kau memiliki karsa, maka jadilah contoh yang baik).
4. Ing Wardiman Djojonegoro (Kalau sekolah atau jadi sastrawan, harus lulus atuh euy, kedah jujur, supaya negara kebawa jaya: Berat Jendral!).

Saya ujug-ujug teringat sastra ketika di suatu petang kian meremang, dalam rintik hujan masih mengguyur, dan harus melanjutkan perjalanan dengan samar arah tempuh. Di hadapan, tampak hutan lebat, kanan bukit, kiri jurang, di seberang jurang tampak bukit berselimut kabut, matahari sudah lingsir, senja kian temaran perlahan, dan nyali saya tiba-tiba ciut, karena akan memasuki jalan yang dipayungi rumpun bambu di kanan kiri, pohon-pohon besar, seorang diri, berkendara roda dua. Di depan tampak benar-benar poek, dan sinyal googlemap terlihat lup-lep. Saya ingat meong congkok yang galak, ular piton yang bisa membelit, maung kajajaden yang suka ujug-ujug hadir di hadapan, atau ririwa dan bagong teler, dan lain-lain. Dalam hati saya berbisik: Lanjutkan jangan, lanjutkan atau balik lagi?

Rasa kasih dan cinta telah mengusir semua ketakutan dan kecemasan. Ia menjelma sepenggal puisi, lalu puisi jadi jadi mantra untuk mengusir bala, jadi doa yang meneguhkan hati:

"Sima aing sima maung. Aing leuwih nyiliwuri batan jurig batan dedemit. Prung mamprung. Poek jadi caang, owa jeung surili jadi balad, oray nyingray bueuk unggeuk. Sakabeh sato nu galak atawa harak, taya kawani ka kami, da wungkul Pangeran nu Kersaning Kawasa. Puah!"

(Auraku arura harimau. Aku lebih halus dari mahluk halus dari memedi. Laju melajulah. Gelap jadi terang, trimatra jadi kawan, ular kabur burung hantu mengangguk setuju. Seluruh hewan yang galak dan buas, tiada keberanian di hadapanku, dan  sebab hanya Tuhan yang Maha Kuasa).

Lalu kulalui jalan itu, dan benar saja, tak ada apa-apa. Membayangkan sesuatu yang menakutkan, seringkali lebih mengerikan dari kenyataan. Rasa takut lebih menakutkan dari apapun yang benar-benar bisa membuat kita takut. Dan, aku pun sampai di tujuan.

Di tujuan itulah kudapati kabar, gempa kecil kembali mengguncang Kab. Sukabumi dan Kab. Cianjur. Sejak 2016, menurut salah satu situs yang memiliki otoritas perkara gempa, telah 11 kali Kabupaten Sukabumi ditimpa gempa. Hal ini mengingatkanku pada Gunung Krakatau di lepas laut, yang beberapa kali kentut sebelum akhirnya bener-benar berak, dengan bau belerang yang bisa membunuh, dan tsunami yang menelan sekian korban. Dalam sebuah film tentang Krakatau, yang melibatkan pemain dari Belanda, batuk-batuk itu sebenarnya peringatan, tapi manusia tidak peka, tidak segera mengungsi, dan ketika ledakan benar-benar terjadi, maka musnahlah sekian nyawa dicerna buana, dimamah segala yang bertuah.

Lini yang berkali-kali menari di Sukabumi itu, mestinya jadi peringatan bagi saya, dan mestinya para sastrawan segera menulis prosa atau puisi, esai atau apapun, yang bermuara pada pendidikan tentang kewaspadaan dan penyelamatan diri, ya semacam peringatan dini serta migitasi bencana.

Sastra tidak cukup hanya sarana untuk masturbasi, macam keributan dan meributkan kebesaran NAMA serta pemuatan di media massa. Sastra, mau tak mau, mengingatkan kepada guru saya, kiyai begawan Wahyu Sulaiman Rendra, yang berujar:

Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.


Orang memang bebas menulis apapun, mau tentang ngaloco atau masturbasi, mau tentang renda-renda pakaian atau gincu-gincu kehidupan, mau tentang kegalauan atau kepicakan mata batin, mau curhat atau mengungkapkan dendam kesumat, mau apapun adalah bebas. Namun, tulisan akan lebih bermakna dan jadi SASTRA bila bermuara pada l'arte pour home (kesenian untuk kemanusiaan), yang bermanfaat untuk penyadaran, kewarasan, dan pemberdayaan kehidupan kini juga generasi yang akan datang.

Sastra yang hanya sarana onani, bahkan terasa memunggungi pernyataan filsuf Renne Descartes yang bersabda: Cogito er go sum (aku berpikir, maka aku ada).

Para penulis memunggungi pernyataan Descartes itu, dan memelesetkannya menjadi: Aku berbelanja maka aku ada, atau aku narsis maka aku eksis.

Ya, saya mesti menulis puisi atau esai, agar menjadi puisi atau mantra, doa atau singlar, agar saya tidak takut, dan selalu waspada, sekalipun saya berkelana sore itu, sebenarnya masih di kawasan Bandung, jadi kenapa mesti takut oleh hutan di Bandung, bukankah sudah tidak ada Maung Bandung? Maung sih ada, di depan kantor koramil berupa patung, atau dalam yel yel viking.


Bandung adalah tatar yang dilingkung oleh gunung, dan diramalkan akan ‘heurin ku tangtung’ (padat oleh kerumunan berdiri). Tapi, memang sih, sore itu aku berkelana bukan di Kota Bandung, tapi di Kabupaten Bandung Barat yang masih memiliki hutan, serta dihiasi oleh gunung-gunung kecil yang kadang terasa lucu sudah sejak dari nama-namanya: Gunung Bohong, Gunung Batur, Gunung Kembar, Gunung-gunungan, dll.

Bandung 150 ribu tahun silam, adalah berupa undakan tanah besar yang diberi nama Gunung Jayagiri. Ia meledak begitu dahsyat, menyebabkan es mencair di kutub selatan, dan efekdomino-nya membuat volume laut bertambah, sehingga dataran rendah seperti di kawasan Sunda dan Sahul, jadi terendam dan sekarang menjadi laut Jawa di barat, yang memisahkan Pulau Sumatra, Melayu, Kalimantan Jawa, serta perairan Arafuru di timur, yang memisahkan Pulau Papua dan Benua Australia.

Ini yang juga perlu kita renungkan, ternyata Sulawesi, Maluku, serta beberapa Pulau di Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT) sedari dulu sudah berpisah, atau dipisahkan oleh laut. Perpindahan air laut dari dan ke Samudra Pasifik – Samudra Hindia, itu terjadi melalui laut yang memisahkan Sulawesi dari paparan Sunda dan Paparan Sahul. Jadi, laut Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil dari dulu sudah ada, dan semakin dalam setelah volume air laut meningkat. Ke dalaman laut Jawa diperkirakan antara 40 – 80 meter. Sedangkan ke dalaman laut di sekitar Sulawesi dan Sunda kecil, bisa mencapai 850 meter. Kapal Selam Naggala 402 tenggelam di laut yang dalam itu, karena sangat mungkin mesinnya tak mampu melawan arus perpindahan air laut dari dan ke Hindia – Pasifik.

Dulu, sungai dari dataran tinggi yang sekarang disebut Pulau Jawa, mengalir ke laut yang mengepung Pulau Sulawesi. Sungai itu mengalir ke arah utara, lalu berbelok ke Timur. Di dataran arah utara, sungai itu bercabang-cabang, banyak jumlahnya, serupa kali, yang kini kawasan di utara itu disebut mantan kali atau Kalimantan.

Itulah Bandung, kawasan sisa Gunung Jayagiri. Eh ternyata, ledakan gunung itu melahirkan anak yang terus membesar, dan seiring dengan laju waktu, anak itu kian membesar, sehingga kembali menjadi undakan yang diberi nama Gunung Sunda atau Gunung Purba. Sekira 51 ribu tahun silam, gunung Sunda/Purba itu meledak lagi, dan makin membuat dataran Jawa yang telah terendam air, dan telah menjadi pulau, ukurannya bertambah lebar.

Dulu, laut Selatan untuk daerah Bandung itu misalnya, ada di kawasan yang sekarang disebut dengan perbukitan Pangalengan, Ciwidey, Gununghalu, dll., namun karena pantai laut selatan itu ter-uruk oleh tanah ledakan gunung Sunda/Purba, menyebabkan pantey terkubur dan menjauh dari ordinat kawasan Bandung, atau seperti yang sekarang kita lihat sebagey pantey selatan Bandung itu berada di kawasan Jayanti, Cidaun, Sindangbarang, Agrabinta.

Ini yang patut kita renungkan, Ledakan Gunung Jayagiri pada 150-an ribu tahun silam, menyebabkan lempengan bumi jadi retak, dan tanah yang berada di atas lempengan pun ikut terbelah. Seiring dengan waktu, belahan tanah itu rapat lagi, tapi jejaknya masih tertinggal hingga sekarang. Nah, jejak belahan itulah kira-kira apa yang disebut dengan Patahan.

Terdapat beberapa patahan di kawasan yang mengelilingi Bandung, dan yang paling terkenal diberi nama Patahan Lembang, yang membentang dari kaki gunung Tangkubanparahu hingga ke Pantey Selatan Jawa Barat yang berada di kawasan Jampang, Sukabumi, serta membentang ke arah Pantey Utara yang berada di kawasan Eretan, Subang. Bila Patahan Lembang yang sedang tidur itu tiba-tiba 'nguliksik' karena secara alamiah ingin berganti posisi tidur, maka gerakannya akan terasa sebagey gempa.

Aku benar-benar hawatir, pada suatu hari Patahan Lembang itu ngigow, lalu mencaci maki orang-orang yang busuk dan kemaruk, maka bencana dan musibah tak tertanggungkan akan terjadi, seperti ketika Krakatow bukan lagi kentut, namun berak dan marah.

Maka puisi, prosa, esay, atau apapun yang bisa disebut sastra, yaitu media pembelajaran, harus memiliki keberpihakan pada dunia pedagogik dan edukatif, atow apa yang disebut dengan falsafah tetralogi pendidikan butir ‘plesetan’: Ing Wardiman Djojonegoro (sastra mesti membuat negara ikut jaya).

Sisa ledakan Gunung Sunda, kemudian menjadi kaldera besar, dan lambat laun menjadi danow besar karena airnya mendingin. Kawah di danow itu tidak aktif lagi. Magma yang masih mau keluar dari bekas Gunung Sunda, beralih ke celah yang lebih kecil, dan membentuk gunung baru di kawasan setengah Utara. Gunung baru yang kecil itulah, yang kini disebut dengan Tangkubanparahu.

Sekira 3500 tahun yang silam, kaldera besar yang kemudian menjadi danow raksasa itu, mengalami kebocoran melalui sebuah celah, sehingga airnya perlahan mengalir menuju laut di sebelah utara. Tanah di sekitar aliran air danau itu lambat laun mengeras, dan itulah yang kemudian disebut dengan sungey Citarum.

Kaldera yang sudah mengering kemudian tampak jejaknya, mengerucut ke arah bawah secara landey, hingga bila dilihat dari atas, akan tampak seperti wajan, yang kadang wajan itu disebut dengan cekungan. Setelah danow purba benar-benar mengering, wajan besar itu kemudian dihuni oleh manusia yang sekarang disebut Urang Sunda. Dulu mah, urang Sunda itu disebut urang Ukur, karena Bandung yang sekarang, pernah diberi nama Tatar Ukur, dengan pemimpinnya yang kesohor bernama Dipati Ukur. (Bersambung).

Senin, 31 Mei 2021

TERSESAT DI KOTA PERT - Bagian 2

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Kira-kira 20 menit sebelum mendarat, lambung pesawat disemprot dengan ‘disinfektan spray’, untuk membunuh kemungkinan terbawanya virus atau bakteri dari Jakarta oleh para penumpang. Penyemprotan disinfektan ini merupakan peraturan pemerintah Australia yang dijalankan dengan ketat dan disiplin.

Terutama untuk pesawat yang datang dari Indonesia, menurut kawan saya yang kelak menerima kedatangan saya di Perth, yaitu Mas Bambang Purwoko, pemerintah Australia tampak seperti sentimen, dan memandang bangsa kita itu penyatakitan. Sementara pesawat dari luar negeri yang akan masuk ke Bandara Soekarno Hatta, tak pernah disemprot dengan cairan apapun.

Singkat cerita, Garuda mendarat di Bandara Udara Internasional Perth, yang dalam website-nya memiliki beberapa sebutan: IATA: PER, ICAO: YPPH). Semua penumpang dari luar negeri, di bandara udara negara manapun, harus masuk ke antrian pemeriksaan visa dan passport, demikian pun kami.

Namun sial, English conversation aku dan Yoyo bisa dikatakan sangat buruk, sehingga ketika diwawancara di desk pemeriksaan passport, aku dan Yoyo tak mengerti pertanyaan mereka, dan tak bisa menjawab. Sungguh malu keudikan kami kala itu. Sekarang sih insya Allah, rada bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris untuk kelas beginner dan dengan jurus nekat. Akhirnya kami diarahkan untuk memasuki ruangan khusus, guna pemeriksaan passport dan administrasi.

Seseorang mengantarkan kami ke ruangan wawancara itu. Tak lama berselang, masuk ke ruangan itu seorang petugas bandara berseragam putih hitam ke atas dan bawahannya, seperti seragam yang digunakan pilot. Kami ditanya ini dan itu dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Inti dari sederet pertanyaan itu adalah, apa tujuan ke Australia? Apa di Australia ada saudara atau teman? Membawa apa saja kami. Dan, ini yang paling menyesakkan, membawa uang berapa dolar?
Aku menunjukkan uang 100 USD, dan beberapa lembar puluhan dolar USD. Kami berdua, tidak datang untuk berdagang dan juga mencari kerja. Kami hanya ikut mampir di Perth, selanjutnya akan bertolak dengan kereta api ke Canbera, dan selanjutnya menuju kota Wolongong, untuk ikut Festival Teater Kampus di Wolongong University. Kutunjukkan surat undangan festival dari panitia, juga surat rekomendasi dari pimpinan kampus kami, IKIP Bandung (Sekarang UPI), tentang kepesertaan kami.
Kami terpahami bukan gembel, bukan pencari kerja, dan bukan untuk hura-hura. Lega, wawancara lulus. Kami tidak akan dideportasi.

Lalu kami disuruh masuk ke ruangan lain. Nah ini benar-benar mengagetkan dan di luar dugaan. Muncul seekor anjing yang besar bersama pawangnya, tentu dikasih ikatan rante. Saking besarnya anjing itu, saat ia tengadah, kepalanya hampir menyentuh kepalaku. Semula kupikir ia anak kuda. Aku ketakutan dan cemas.
“Ini apa?”

Anjing itu membaui kami, lalu menggongong tak henti, dan petugas segera memeriksa jaketku. Astagfirullah. Petugas mengeluarkan saset obat kusimpan di jaketku.

“Itu antimo. Obat untuk yang tidak bisa tidur,” jawabku, kepada petugas yang tadi mewawanacarai kami.

Aku terserang insomnia, mungkin karena terlalu banyak keinginan, dan terus bergentayangan di kepala. Betapa sulit untuk tidur. Nah, salah satu manfaat antimo, selain sebagai obat mabok, juga bisa jadi obat tidur bila ditenggak langsung dua tablet. Karena sulit tidur saat menghadapi persiapan ikut Festival Teater Kampus itu, aku sering menenggak antimo, hingga kebawa ke Australia.

Obat itu diambil, lalu anjing membaui kami lagi. Kali ini tidak menggogong, malah anjing itu berlalu dengan tetap lehernya dirante. Sang pawang mengikutinya.

Setelah lolos dari pemeriksaan anjing, kami pun dipersilahkan keluar dari front desc imigrasi. Ransel dan kardus yang kami bawa, sudah ada di pinggir, diambilkan oleh petugas, di antrian untuk membawa barang bagasi. Petugas memeriksa tiket kami, dan ia bilang “Ok,”, yang artinya kami boleh membawa ransel dan kardus yang isinya booklet pertunjukan teater yang akan dibagikan kepada penonton, dalam festival teater di Wolongong University itu.

Ruangan di tempat mengambil barang bagasi sudah sepi, karena memang kamilah penumpang yang terakhir berada di ruangan itu, dan hanya ada satu petugas di sana. Kami telat sampai ke sana, jelas karena harus menjalani peristiwa wawancara semi introgasi itu. Moral dari lamanya proses izin keluar itu, mendatangkan motivasi untukku belajar bahasa Inggris percakapan.

Dalam pendidikan di Indonesia, setelah sekarang saya renungkan, ada yang keliru. Siswa belajar langsung tulis baca, yang merupakan keterampilan ketiga dan keempat, setelah pelajaran menyimak dan berbicara. Ini sebenarnya ganjil, sebab saat manusia berkomunikasi, cenderung lebih banyak menggunakan bahasa lisan, dan bukan bahasa tulisan.

Semestinya pelajaran bahasa asing, temasuk Arab dan Inggris, itu dimulai dari pelajaran menyimak atau mendengarkan, kalau bisa, mendengarkan kosakata langsung dari native speaker. Setelah mendengar dengan baik, barulah kita belajar bicara. Pelajaran tulis baca bahasa asing bukan tidak penting, tapi nanti saja kalau sudah bisa ngomong bahasa asing dengan benar. Tapi kita bisa memahaminya, kampus-kampus tak akan mau mengeluarkan dana untuk mendatangkan native speaker.

Para dosen bahasa Inggris pun, sebenarnya belum tentu bisa bicara bahasa Inggris dengan fasih. Mereka hanya paham grammer. Beruntunglah sekarang ini kita memasuki era transparansi informasi, dan era sosmed yang melintas batas. Pelajaran listening bisa dilakukan lewat youtube.

Jika Anda ingin belajar bahasa asing, misalnya bahasa Arab, menurut saya, daripada menghabiskan dana, waktu, dan tenaga, mendingan menjadi TKI ke Arab, setelah tiga tahun bekerja di sana, Anda akan bisa bahasa Arab percakapan. (Bersambung).

Sumber Foto: Suara.com




Jumat, 28 Mei 2021

TERSESAT DI KOTA PERTH - Bagian 1


Oleh Doddi Ahmad Fauji


(Bukan catatan seorang 'backpacker)

Menuliskan ‘sesuatu’ yang telah lama berlalu, bagi saya, ini menjadi sarana untuk mengasah ingatan. Beruntunglah niat untuk menuliskan yang sudah lewat itu, kini terdukung oleh adanya mesin telusur informasi di internet lewat Paman Goo, untuk mengakuratkan data. Kota Perth misalnya, seberapa luaskah Ibu Kota Australia Barat yang pernah kumasuki itu?


Mengasah ingatan amat penting, Kawan. Memasuki usia setengah Abad, adalah memasuki usia kemunduran kinerja tubuh, termasuk otak. Nah, bila tidak diasah itu ingatan, bisa saja banyak pengalaman dan pengetahuan, bacaan serta hapalan, perlahan menguap karena kinerja otak menuju ke arah berkurang. Eh maaf, bukan maksud untuk berteori atau hendak menakut-nakuti. Tapi ini penting untuk disadari selalu, seseorang disebut pintar atau apalagi cerdas, salah satunya dipicu oleh daya ingat.


Tahukah Anda, warga Eskimo mendiami kutub sebelah mana? Jika Anda meraba-raba untuk menjawabnya, bisa jadi ingatan Anda tentang pelajaran geografi yang pernah dipelajari pada masa SMA, kini telah menguap. Namun bila dengan tegas menjawab orang Eskimo mendiami Kutub Utara dengan haqul yakin, berarti daya ingat kita tidak seluruhnya menguap.


Nah, ada kejadian atau peristiwa di masa lalu, ada pelajaran atau hapalan di masa lalu, yang masih cukup penting untuk selalu kita ingat, sekalipun teknologi berkembang pesat, dan meskipun pola peradaban menyuguhkan banyak varian yang juga harus diingat. Karena ternyata, masa lalu tidak seluruhnya usang, tidak semuanya terkubur. Ada di antaranya yang merupakan jejak sejarah, dan sejarah harus dituliskan, untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan generasi ke depan, untuk fondasi dari bangunan peradaban yang akan datang. Eropa maju, salah satunya karena mereka selalu becermin pada sejarah. Juga China kini melesat, sebab mereka mendokumentasikan kearifan lokal leluhurnya dalam mengatasi masalah kehidupan.


Catatan penting, sebelum melanjutkan kisah kisah sesungguhnya yang ingin saya ceritakan, adalah bahwa seseorang menjadi cerdas atau pintar, adalah karena tiga faktor ini: 1) daya ingat yang kuat, 2) Kemampuan analisis yang tajam, dan 3) mempelajari teori dan trik-trik teknikal untuk memecahkan sekian masalah.


Nomor tiga terkesan teoretis, namun ingin saya jelaskan seperti ini. Dari kecil, saya diajarkan untuk menyebutkan angka secara berurut dengan cepat dan tepat. Lafalkan dengan suara lantang angka dari 1 sampai 100 secepatnya dan harus tepat, lalu setelah itu, lafalkan angka secara urutan kebalikannya, dari 100 sampai 1, dengan cepat dan harus tepat. Lafalkan juga perkalian dari 1X 1 hingga 9 X 9, dan lalu lafalkan juga pembagian dari 1 : 1, hingga 99 : 9, serta lafalkan kebalikannya. Ya, ini trik untuk mengingat hitungan matematis.


Kembali ke lajur utama, saya coba mengingat tanggal persis atau hari apa pertama kali saya berkunjung ke luar negeri, tepatnya ke kota Perth, Australia Barat. Sungguh saya lupa, tapi saya ingat itu terjadi di Bulan September tahun 1995, bersama teman karib saya, Yoyo Yogasmana. Mungkin suatu hari akan ketemu data yang tepat, untuk menentukan tanggal berapa dan hari apa keberangkatan itu. Tapi yang jelas, dari Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, pesawat Garuda yang kami tumpangi, berangkat hampir Magrib, dan pesawat itu menempuh perjalanan sekira 4 jam. Waktu Kota Perth lebih cepat satu jam dari Jakarta. Sampai di Perth, sekira pukul 22.00 waktu setempat, atau pukul 21.00 di Jakarta. Di dalam pesawat, ada pengumuman penumpang tidak boleh merokok, tapi kami diperbolehkan minta anggur. Kami dijamu makanan kemas khusus pesawat, dan saya selalu berusaha menikmatinya.


Ini kali kedua saya naik pesawat terbang. Kali pertama terjadi tahun 1993, dari Surabaya ke Banjarmasin, juga dengan Garuda Airline, untuk mengikuti Seminar Sastra Indonesia di Universitas Lambung Mangkurat. Bisa naik pesawat tebang, maskapai Garuda pula, kala itu, terasa seperti raja, karena kita diperlakukan secara istimewa, misalnya saat kami terlambat harus naik pesawat, itu dijemput dengan bus di dalam bandara, padahal saya berdua bersama Kang Erwna Juhara yang terlambat. Keterlambatan ini terjadi karena mis-informasi, dan karena ini pengalaman pertama kami naik pesawat pada 1993 itu.


Sebetulnya ada rasa minder untuk mengisahkan pengalaman ini, bila saya membandingkannya dengan pencapaian dan prestasi orang-oang keren. Namun saya sadar, tidak semua orang bisa seperti yang mendapatkan pengalaman yang pernah saya telusuri. Pengalaman adalah kekayaan ketujuh manusia, setelah nyawa, kesehatan, harapan, semangat, kekeluargaan, dan pertemanan. (Bersambung)

Sumber foto: https://blog.yuktravel.com/

SEKALIPUN - Mengenang Amrzan Lubis

Doddi Ahmad Fauji

SEKALIPUN

 
- Mengenang Amarzan Lubis

Kita tak pernah berkarib ria
namun betapa penyesalan ini telah menyelimuti seluruh langit
seakan gerhana total, tak menyisakan seutas pun cahaya
karena bahkan aku tak sempat mendengar raung sirine
yang mengantarkan-mu ke rumah cahaya


Kita tak pernah berpapasan, namun ingin kukatakan
kepahitan demi kepahitan telah kukunyah habis
jadi obat luka hati, meski kesakitanku tak kunjung sembuh
sejak luka hati tak terobati, aku mencandu filsafat pemberontakan
tiap kurasakan sesuatu tampak ganjil dan tak adil
aku akan melawan, sekalipun terhempas


Membaca kisah-mu, terasa benar mungil kelingkingku
terlalu berani untuk meruntuhkan tiang langit
hingga aku terpental dan terpuruk begitu dalam
tapi aku jadi tertawa, karena ada yang lebih gila
dari si pemurung ini, yang mengurung diri
bersama tumpukan sampah dan belatung
aku tertawa sekaligus menangis
bagaimana bisa seseorang bertahan hidup
dengan memanggang tikus di atas nyala lilin
lalu disantap dengan lahap
itulah sepenggal fragmen kegilaan-mu, Amarzan!


Bandung, 2019


Amarzan Lubis adalah wartawan Harian Rakyat, yang ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Orde Baru, karena dituduh PKI gegara ia ikut dalam barisan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Untuk bertahan hidup, jangan tanya apa yang pernah ia makan, tapi tanyakan apa yang belum pernah ia makan. Ia pernah memakan daging tikus setelah ia panggang di atas nyala lilin!

Foto dari Majalah Tempo: tempo.co

NYANYIAN DARI SERUYAN

Puisi Pamflet Doddi Ahmad Fauji


NYANYIAN DARI SERUYAN


Dari pucuk-pucuk daun sawit
jerit tangis bangsaku melengking ke angkasa
gendang telinga langit robek, lalu infeksi
mengucurlah nanah sederas hujan menggebu
di tanah mantan kali yang telah lama mati
nanah bercampur limbah kilang minyak sawit
banjir bandanglah tangis warga Borneo
dan bumi mayapada ikut sesak nafas

Wahai warga dunia yang tercinta
mengapa kalian sebut Kalimantan
serupa paru-paru buana
tapi kalian biarkan hutan ulin dibabat
kayu kamper digergaji dan dijual ke Jawa
lahan gambut dan perdu dibakar
berganti hamparan ladang sawit

Para petani beralih masuk pabrik minyak
tiap pagi menyanyikan lagu kebangsaan
tanah tumpah darahku yang membanjir
dan monyet-monyet jadi pengemis
di pinggiran jalan, berharap sesuap
berkah untuk mengganjal lambung

Sepanjang perjalanan dari Sampit ke Seruyan
mengalun lagu kalah orang usiran
mengapa bangsaku jadi budak di negeri sendiri
mengapa tanah luas bikin otak malah sempit
mengapa berkah justru jadi sumber musibah
dan asap-asap bakaran hutan membumbung
mengiringi ratapan anak bangsaku
yang menguar dari pucuk-pucuk sawit

Inilah nyanyian paling fals nan sumbang
yang meninabobokan malam-malamku




Bandung, 2021

Kamis, 27 Mei 2021

KAPAN INDONESIA BISA MENCIPTAKAN MESIN?



Oleh Doddi Ahmad Fauji

Mobil Uap

Saya bukan ahli teknologi, karena itu, jauh dari tanah ke langit bila saya tiba-tiba bisa menciptakan mesin yang dapat menjadi penggerak otomotif. Jangankan menciptakan atau memperbaiki kerusakannya, menggunakannya pun kadang gagap. 

Hingga saat ini, saya belum pernah mendengar ada sekolah SMA atau SMK yang mengajarkan kepada siswanya, dalam mata pelajaran keterampilan, agar siswa terampil mengendarai kendaraan roda dua atau empat. Mengajarkan bukan hanya teknik mengendarai, namun juga etika berkendara di jalan lalulintas publik. Saya berkeyakinan saja, jika sejak dini, usia SMA dan sederajat para siswa sudah diajarkan etika berkendara yang santun dan benar menurut marka lalulintas, itu akan mengurangi kesemerawutan jalanan, termasuk tentu mengurangi pengendara untuk ugal-ugalan.

Saya juga berkeyakinan bahwa mesin itu harus bisa diciptakan sendiri, supaya kita bisa membuat alat transportasi sendiri, dan tidak harus mengimpor ke negara modern. Saat ini memang sudah berhasil diciptakan mobil rakitan, bahkan pesawat rakitan. Namun oderdil utama dalam otomotif dan pesawat adalah mesin. Karena itu, meski hanya melalui puisi, saya berangan-angan kelak lahir inspirasi untuk anak-anak belia dalam menciptakan mesin.

Selama bangsa kita tidak terobsesi menciptakan mesin, dan tidak berusaha mewujudkannya, maka bangsa kita akan selalu terbelakang dalam kemajuan peradaban, dan selalu mengekor bangsa industri, yang banyak mengangankan bisa menguasai kekayaan sumber alam Indonesia. Bahan baku macam nikel dan logam lainnya untuk menciptakan mesin, sungguh Indonesia memilikinya, dan melimpah ruah. Kawasan Rajaampat pernah menjadi rebutan dari 200-an perusahaan pertambangan asing, karena di sana melimpah bahan baku untuk menciptakan mesin dan otomotif.

Selain mesin, teknologi yang perlu segera kita ciptakan sendiri adalah komputer dan variannya, serta telepon dan variannya. Itulah tiga piranti teknologi yang dapat mempercepat kemajuan pembangunan sebuah bangsa. Saya, baru bisa bermimpi, sebelum meninggal, bisa melihat sendiri bangsa ini berhasil menciptakan mesin sendiri, otomotif sendiri, komputer dan laptop sendiri, juga telepon terutama yang smart, tapi yang stupid pun tak apalah. 

Gambar: mobimoto.com