BERMULA DARI KATA - Pengantar untuk buku Selasih - Penerbit SituSeni

Rabu, 04 Agustus 2021

BERMULA DARI KATA - Pengantar untuk buku Selasih


Oleh Doddi Ahmad Fauji

Bermula dari kata KUN, kemudian FAYAKUN... Jadi, maka jadilah. 

Demikianlah, bila Allah Swt menghendaki sesuatu, Ia akan mengucapkan larik ‘kun fayakun’ atau jadi maka jadilah. Larik tersebut setidaknya terdapat dalam Quran surat Yasin ayat 82: Innama Amruhu Idza Arada Syaian An Yaqula Lahu Kun Fayakun. Artinya: Sesungguhnya urusannya-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, Jadilah, Maka jadilah ia. Qs. Yasin: 82.

Larik di atas menerangkan kepada para pembaca, bahwa penciptaan langit dan bumi, ternyata dimulai dengan kata Jadi!

Berangkat dari argumentasi tersebut, saya menarik kesimpulan bahwa penciptaan dalam banyak hal, dimulai dari KATA. Orang Arab sangat mempercayai hal ini, sehingga keluar ungkapan dari Arab yang berbunyi: al-ashlu lugotan, maa buniya ‘alaihi ghoirihi (asal usul itu dari kata, tak ada yang menyamainya).

Bangsa Indonesia saat ini, dalam pergaulan peradaban internasional, harus mengakui, adalah bangsa yang kurang kreatif dalam penciptaan peralatan teknologi. Kita tidak bisa menciptakan tiga perangkat teknologi yang amat penting untuk kemajuan peradaban lanjutan, yaitu kita tak bisa menciptakan telepon, mesin, dan komputer. Jalanan kita macet, tapi kendaraan yang memenuhinya adalah hasil belanja dari bangsa asing, dan pembelajaran daring makin semarak, tetapi peralatan yang digunakan adalah hasil penciptaan bangsa lain. 

Bahkan kita tidak bisa menciptakan baru dalam peradaban baru, juga bahkan dalam dunia pendidikan. Kita harus mengimpor kata untuk menamai berbagai mata pelajaran dari sejak TK hingga S3. Mari kita periksa istilah mapel untuk ilmu sosial maupun ilmu sain: Matematika, fisika, kimia, biologi, geografi, sosiologi, antropologi, dll, adalah kaya yang kita impor. Kemandulan dalam memproduksi kata, berdampak lanjutan pada mandulnya menciptakan piranti lainnya, terutama piranti teknologi informasi, transportasi, dan kelayakan hidup.

Para pencipta kata, diterangkan dalam Quran surat ke-26 (para penyair) adalah para penulis puisi, atau yang kemudian disebut penyair. Sungguh, penyair atau pencipta kata, dimuliakan oleh Allah dengan dimaktubkannya sebutan para penyair dalam surat ke-26 itu. Saya bersyukur karena kini makin marak orang-orang menulis puisi, dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan amademik (guru dan dosen) berserta siswa dan mahasiswa. Semoga gairah berpuisi dari berbagai kalangan itu, berimbas pada kelanjutan untuk memahami hakikat atau esensi kata.

Hakikat atau esensi kata sungguh perlu dipahami, dan bahkan dilaksanakan jika yang termaktub dalam kata tersebut berupa perintah, dan atau kita tidak berbuat sesuatu yang dilarang oleh kata.

Kata adalah bagian dari aksara, dan adalah merupakan unsur terkecil yang punya makna, yang membentuk bahasa. Bahasa diwakili atau ditandai oleh aksara, dan dalam bahasa Eropa (Inggris, Jerman, Prancis, Belanda), aksara itu bisa diartikan dengan literasi. Nah, berliterasi itu artinya ber-aksara. Beraksara yang dimaksud ialah, memahami arti leskisal (kamus) sekaligus memahmi makna esensialnya (hakikat kata).

Puisi seperti yang tertuang dalam antologi Selasih Bertunas Emas. Antologi Catatan Buah Hati Dalam Puisi, adalah salah satu jalan untuk memahami syariat (leksikal) dan hakikat kata, dan para pembaca serta penulis puisi, harus benar-benar bergelut untuk dapat memahami syariat dan hakikat kata itu. Bila tidak, maka puisi yang bagus bisa saja tidak terpahami karena si pembaca kurang bersungguh-sungguh dalam mempelajari kata. Bila tidak, bisa saja puisi yang ditulis para penulis puisi, kurang memancarkan marwah kata KUN (Jadi)!

Saya kurang leluasa bila harus membahas puisi-puisi dalam antologi ini, karena dibutuhkan pembacaan yang bersungguh-sungguh, serta menuangkannya dalam catatan panjang. Sekilas dapat saya tangkap, bahwa upaya untuk berkomunikasi kepada yang lain (yang membaca) melalui kata yang simbolik dan indah melalui puisi, sudah terasa dalam beberapa puisi yang ada pada antologi buku ini. Selanjutnya, kepada para penulis maupun pembaca puisi dalam antologi ini, saya ingin menyampaikan pendapat tentang tafsir menurut saya dari kata ‘iqro’ yang merupakan kata pertama dalam wahyu pertama, yang diterima Nabi Muhammad.

Kenapa kata pertama itu berbunyi Iqro, dan apa artinya iqro?

Secara harfiah (huruf) atau makna syariyah (leksikal) dari kata iqro adalah membaca. Semua orang Islam yang pernah belajar ngaji, tahu benar kata iqro itu adalah perintah untuk membaca. Namun ada pertanyaan lanjutan untuk memahami maksud dari kata pertama dalam wahyu yang berbunyi ‘iqro’ itu, yaitu buat apa sebenarnya membaca? \

Jawaban atas pertanyaan ‘buat apa membaca?’ adalah yang menjadi penjelasan dari makna esensial (hakikat) dari kata iqro. 

Kita membaca supaya kita memahami bacaan, supaya kita memahami kehidupan. Maka perintah iqro dalam Quran itu, hakikatnya adalah supaya kita memahami isi Quran (qouliyah). dan memahami kehidupan ini (qouniyah). Jika kita sudah hatam membaca quran, bahkan tertalar, namun kurang paham artinya (terjemahannya), juga kurang paham tafsirnya (hakikatnya), maka bisakah kita disebut sudah membaca? Mungkin bisa disebut sudah membaca, tapi baru pada tahap melapalkan.

Nah, lalu, buat apa kita memahami isi bacaan?

Jawaban atas pertanyaan di atas, akan menjadi penjelasan ma’rifat dari makna iqro. Kita membaca supaya paham, dan setelah paham, kita harus melaksanakan atau menjalankan apa yang sudah kita pahami itu. Maka secara makrifat, arti dari iqro itu, bukan saja bacalah, pahamilah, namun sekaligus laksanakanlah!

Lalu kenapa kita mesti berpuisi?

Kita berpuisi bukan sekedar merangkai kata, namun hendak berkomunikasi dengan yang lain (pembaca), dengan mengkomunikasikan hal yang baik, dengan maksud yang baik, dan dengan bahasa yang baik. Ingatlah bahwa puisi adalah rangkaian kata, dan kata adalah awal mula dari penciptaan. Nah, berliterasi itu, kita belajar memahami makna dan hakikat kata, serta melaksanakannya, jika itu berupa perintah, dan menjauhi larangannya, jika itu memang larangan. Mari kita terus berpuisi dan berliterasi, sebab dari puisi, bisa lahir imajinasi, dan dari imajinasi, lahir filsafat, dan filsafat adalah ibu dari semua ilmu pengetahuan barat. Bisa saja kelak, kita berpuisi dengan berimajinasi, dan generasi penerus setelah kita, kelak berhasil menciptakan peradaban canggih, dan kita tidak lagi menjadi bangsa pengguna, pengikut, dan pembelanja alias konsumtif. Bermula dari puisi yang sungguh-sungguh, tidak mustahil lahir komputer baru, mesin baru, telepon baru, buatan bangsa Indonesia. Semoga!

Doddi Ahmad Fauji

Penulis buku Menghidupkan Ruh Puisi

Pemimpin Redaksi SituSeni.

Comments


EmoticonEmoticon