TERSESAT DI KOTA PERTH - Bagian 1 - Penerbit SituSeni

Jumat, 28 Mei 2021

TERSESAT DI KOTA PERTH - Bagian 1


Oleh Doddi Ahmad Fauji


(Bukan catatan seorang 'backpacker)

Menuliskan ‘sesuatu’ yang telah lama berlalu, bagi saya, ini menjadi sarana untuk mengasah ingatan. Beruntunglah niat untuk menuliskan yang sudah lewat itu, kini terdukung oleh adanya mesin telusur informasi di internet lewat Paman Goo, untuk mengakuratkan data. Kota Perth misalnya, seberapa luaskah Ibu Kota Australia Barat yang pernah kumasuki itu?


Mengasah ingatan amat penting, Kawan. Memasuki usia setengah Abad, adalah memasuki usia kemunduran kinerja tubuh, termasuk otak. Nah, bila tidak diasah itu ingatan, bisa saja banyak pengalaman dan pengetahuan, bacaan serta hapalan, perlahan menguap karena kinerja otak menuju ke arah berkurang. Eh maaf, bukan maksud untuk berteori atau hendak menakut-nakuti. Tapi ini penting untuk disadari selalu, seseorang disebut pintar atau apalagi cerdas, salah satunya dipicu oleh daya ingat.


Tahukah Anda, warga Eskimo mendiami kutub sebelah mana? Jika Anda meraba-raba untuk menjawabnya, bisa jadi ingatan Anda tentang pelajaran geografi yang pernah dipelajari pada masa SMA, kini telah menguap. Namun bila dengan tegas menjawab orang Eskimo mendiami Kutub Utara dengan haqul yakin, berarti daya ingat kita tidak seluruhnya menguap.


Nah, ada kejadian atau peristiwa di masa lalu, ada pelajaran atau hapalan di masa lalu, yang masih cukup penting untuk selalu kita ingat, sekalipun teknologi berkembang pesat, dan meskipun pola peradaban menyuguhkan banyak varian yang juga harus diingat. Karena ternyata, masa lalu tidak seluruhnya usang, tidak semuanya terkubur. Ada di antaranya yang merupakan jejak sejarah, dan sejarah harus dituliskan, untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan generasi ke depan, untuk fondasi dari bangunan peradaban yang akan datang. Eropa maju, salah satunya karena mereka selalu becermin pada sejarah. Juga China kini melesat, sebab mereka mendokumentasikan kearifan lokal leluhurnya dalam mengatasi masalah kehidupan.


Catatan penting, sebelum melanjutkan kisah kisah sesungguhnya yang ingin saya ceritakan, adalah bahwa seseorang menjadi cerdas atau pintar, adalah karena tiga faktor ini: 1) daya ingat yang kuat, 2) Kemampuan analisis yang tajam, dan 3) mempelajari teori dan trik-trik teknikal untuk memecahkan sekian masalah.


Nomor tiga terkesan teoretis, namun ingin saya jelaskan seperti ini. Dari kecil, saya diajarkan untuk menyebutkan angka secara berurut dengan cepat dan tepat. Lafalkan dengan suara lantang angka dari 1 sampai 100 secepatnya dan harus tepat, lalu setelah itu, lafalkan angka secara urutan kebalikannya, dari 100 sampai 1, dengan cepat dan harus tepat. Lafalkan juga perkalian dari 1X 1 hingga 9 X 9, dan lalu lafalkan juga pembagian dari 1 : 1, hingga 99 : 9, serta lafalkan kebalikannya. Ya, ini trik untuk mengingat hitungan matematis.


Kembali ke lajur utama, saya coba mengingat tanggal persis atau hari apa pertama kali saya berkunjung ke luar negeri, tepatnya ke kota Perth, Australia Barat. Sungguh saya lupa, tapi saya ingat itu terjadi di Bulan September tahun 1995, bersama teman karib saya, Yoyo Yogasmana. Mungkin suatu hari akan ketemu data yang tepat, untuk menentukan tanggal berapa dan hari apa keberangkatan itu. Tapi yang jelas, dari Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, pesawat Garuda yang kami tumpangi, berangkat hampir Magrib, dan pesawat itu menempuh perjalanan sekira 4 jam. Waktu Kota Perth lebih cepat satu jam dari Jakarta. Sampai di Perth, sekira pukul 22.00 waktu setempat, atau pukul 21.00 di Jakarta. Di dalam pesawat, ada pengumuman penumpang tidak boleh merokok, tapi kami diperbolehkan minta anggur. Kami dijamu makanan kemas khusus pesawat, dan saya selalu berusaha menikmatinya.


Ini kali kedua saya naik pesawat terbang. Kali pertama terjadi tahun 1993, dari Surabaya ke Banjarmasin, juga dengan Garuda Airline, untuk mengikuti Seminar Sastra Indonesia di Universitas Lambung Mangkurat. Bisa naik pesawat tebang, maskapai Garuda pula, kala itu, terasa seperti raja, karena kita diperlakukan secara istimewa, misalnya saat kami terlambat harus naik pesawat, itu dijemput dengan bus di dalam bandara, padahal saya berdua bersama Kang Erwna Juhara yang terlambat. Keterlambatan ini terjadi karena mis-informasi, dan karena ini pengalaman pertama kami naik pesawat pada 1993 itu.


Sebetulnya ada rasa minder untuk mengisahkan pengalaman ini, bila saya membandingkannya dengan pencapaian dan prestasi orang-oang keren. Namun saya sadar, tidak semua orang bisa seperti yang mendapatkan pengalaman yang pernah saya telusuri. Pengalaman adalah kekayaan ketujuh manusia, setelah nyawa, kesehatan, harapan, semangat, kekeluargaan, dan pertemanan. (Bersambung)

Sumber foto: https://blog.yuktravel.com/

Comments


EmoticonEmoticon