Catatan ‘Tafakarul Ihtiyati’ Atas Kemenangan Willy Fahmi Agiska pada HPI 2020 - Penerbit SituSeni

Kamis, 13 Mei 2021

Catatan ‘Tafakarul Ihtiyati’ Atas Kemenangan Willy Fahmi Agiska pada HPI 2020

Bila bicara dari sudut pandang ‘corps de esprite’, hanya ada satu reaksi yg patut diejawantahkan, yakni kemenangan Willy itu, harus disyukuri dengan bangga, bahwa ada frase yg heroik bisa diteriakkan hingga ke langit terjauh: "ASAS uber Alles!" (ASAS di atas segala komunitas).

 

Namun seiring dengan itu, atas nama kemajuan peradaban literasi, ada beberapa sudut pandang yang perlu direnungkan, dilontarkan, baik bersifat afirmatif, evaluatif, maupun introspektif.

 

Buku antologi Willy sebagai pendatang baru, bisa melibas para pesohor yang sudah memiliki jam terbang mendekati sakratul maut, adalah fenomenal sekaligus kontroversial. Buku Willy melebihi fenomenanya ‘Kuda Hitam’ dalam ajang sepakbola, yang kerap muncul di berbagai kompetisi. Dikatakan melebihi, karena ini benar-benar menyodok aras ‘common sense’: Apa iya buku Afrizal Malna bisa kalah oleh buku Willy?

 

Untuk menjawabnya, saya ingin melihat dari faktor realita dewan juri. Dari tiga orang itu, dua Dewan Juri sudah melampaui usia 70, bahkan mau menyentuh angka 80. Usia yang sering ditilik dari dua dimensi yang berseberangan.

 

Dimensi pertama, para pelanjut usia itu sering ditahbiskan sebagai insan kamil yang telah mencapai maqom makrifat, yaitu menelisik hakikat di balik hakikat sebuah soal. Bila ini yang benar, maka berarti selama ini, puisi-puisi yang diagung-agungkan oleh aneka festival dan media massa pemuat puisi, ternyata tak lebih dari puisi profan yang tidak memberikan secercah aufklarung. Hanya wadag kata-kata yang bersembunyi di balik doktrin ‘l arte pour ‘l arte, namun tak memberi efek positif bagi nilai-nilai kemanusiaan. Para juri yang sudah sepuh itu, justru menemukan alam katarsis pada puisi pendatang baru.

 

Dimensi kedua, usia mendekati 80 tahun itu, di mana usia tidak bisa berbohong, adalah usia memasuki gerbang kepikunan. Jangan-jangan karena sudah pikun, para juri itu, sudah tidak bernas dan jernih lagi dalam menilai. Karena mereka senior, hukum feodalisme mengatakan seperti ini: Fasal 1: senior tak pernah salah. Fasal 2: Bila senior salah, kembali ke fasal 1. Tardji dan Hadi, akhirnya memveto Maman sebagai junior yang jadi tumbal.

 

Selain catatan untuk keputusan dewan juri yang fenomenal dan kontroversial itu, setuju tak setuju, bahwa bangsa ini tidak memiliki teori ilmu modern yang aseli dan asali. Semua ilmu modern, termasuk ilmu perpuisian dan filsafat, bahkan ajaran agama, adalah hasil impor dari seberang. Kita menilai diri sendiri, dengan menggunakan kacamata orang lain. Maka selain memberikan catatan pertanggungjawaban, semestinya juri memberikan analisis yang akurat, dan bila mungkin, pisau untuk menganalisisnya itu, dibakukan dan dibukukan, sehingga secara pelan-pelan, kita menciptakan kaidah dan rumus sendiri, agar lebih jauhnya lagi, bangsa ini bisa membuat mesin sendiri, komputer sendiri, juga handphone sendiri. Jelas karena honor yang tidak memadai, kehendak yang ideal menurut saya itu, sulit untuk diwujudkan, seperti sulitnya mencari ketiak ular. Jikapun dibuat analisis, sifatnya akan asal-asalan.

 

Di atas semua itu, maka akan sangat bijak bila hadiah yang diterima oleh Willy, digunakan untuk sekolah filsafat, dan filsafat tertinggi itu, ialah batu nisan!

Comments


EmoticonEmoticon