Supaya Puisi Dimuat di Koran - Penerbit SituSeni

Minggu, 16 Mei 2021

Supaya Puisi Dimuat di Koran

Oleh: Doddi Ahmad Fauji


Sampul buku Menghidupkan Ruh Puisi, mulai Cetakan Kedua

Karya kreatif saya, terutama puisi, diasuh dan dibesarkan oleh tradisi sastra koran. Sejak tahun 1990, saya belajar menulis dan mengirimkannya ke berbagai koran. Tahun 1991, tulisan saya untuk pertama kalinya dimuat di koran lokal kelas kelima, alias korang kuning. Saya tidak ingin menyebut nama korannya, meskipun koran tersebut telah mati, alias tidak terbit lagi. Lalu, saya lupa bulannya, pada tahun 1992, untuk kali pertama puisi saya dimuat di koran Bandung Pos (juga telah mati). Saat itu, Redaktur yang menggawangi rubrik sastra adalah Bpk. Suyatna Anirun, seorang seniman teater yang cukup berpengaruh di Indonesia. Ia bersama Jim Lim, mendirikan Studiklub Teater Bandung. Ia beragama Nasrani. 

Namun justru ia memuatkan puisi saya yang berjudul 'Tahajud'. Ini menjadi pembenaran, bahwa karya seni, dalam hal ini puisi, memiliki nilai universal. 

Sejak dimuatkan puisi di Bandung Pos itu, saya semakin bersemangat untuk menulis puisi, dan juga tulisan lainnya. Butuh setahun saya berlatih, agar tulisan saya bisa dimuatkan di media massa, terutama koran.

Setelah dimuat di Bandung Pos, puisi saya kemudian dimuat di koran-koran lain, di antaranya di Pikrian Rakyat, Tabloid Mitra Desa (sudah mati), HU Pelita, Suara Karya Minggu, Singgalang, Swadeshi, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan saya lupa di koran mana lagi. Sebelum tahun 2000, Koran Kompas yang berwibawa, tidak membuka rubrik Puisi, sedangkan Koran Tempo baru terbit perdana pada 2001. Koran nasional paling berwibawa untuk rubrik puisi kala itu, adalah Media Indonesia dan Republika. Sebelum tahun 2.000, puisi saya berhasil menembus Republika dan Media Indonesia.

Pada tahun 2.001, pengamat sastra Korrie Layun Rampan menerbitkan buku berjudul Angkatan 2000 dalam Karya Sastra. Puisi saya tampil dalam buku tersebut, bersama 74 penulis karya sastra lainnya. 

Sejak saya bekerja di Koran Media Indonesia pada 2 Desember 1998, saya sudah jarang mengirimkan lagi puisi ke berbagai koran. Pernah sekali dua kali, dan di antaranya dimuatkan di Majalah Horison, majalah sastra paling berwibawa dan serius, serta di Koran Suara Merdeka terbitan Semarang.

Beberapa langkah yang saya tempuh agar puisi saya dimuat di koran, pada awal saya belajar, adalah seperti ini:

1. Saya sering membaca puisi-puisi yang dimuatkan di berbagai koran, dan umumnya terbit di hari Minggu. Dari puisi para penyair senior yang dimuatkan di media massa itu, saya mempelajari puisi-puisi mereka, kemudian meniru dalam hal tema dan gaya. Ingat, meniru dengan menjiplak adalah berbeda, sudah sejak dari niat. Menjiplak adalah kejahatan. Meniru adalah salah satu metode untuk mengawali langkah menuju tujuan. Tentu hasil tiruan dengan aslinya, akan dan harus berbeda. Yang ditiru adalah gaya atau tema, atau bagaimana cara penyair senior membuat gaya, stilistika, dan memberi ruh pada tulisannya.

2. Menulis puisi sebanyak-banyaknya, karena saya masih muda dan pemula, dan mengirimkan karya puisi juga ke sebanyak-banyaknyak media massa. Terkadang saya memfotokopy hasil printing yang saya kerjakan di kantor Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia (kala itu namanya IKIP Bandung). Hasil fotokopi yang cukup bagus, saya kirim ke beberapa koran sekaligus. Terkadang ada satu atau dua judul puisi yang dimuat di beberaoa koran. Dari puisi yang dimuat di beberapa koran itu, saya menjadi lebih tahu selera para redaktur, serta bisa menarik asumsi, puisi-puisi yang dimuat di banyak koran itulah yang disebut dengan puisi bagus.

3. Jangan bosan dan mudah menyerah dengan tidak dimuat di koran. Mungkin belum. Langkah terbaik adalah terus membaca karya orang lain yang dianggap bagus. Para penulis pemula sekarang ini, lebih banyak menulisnya ketimbang membaca karya orang lain, sehingga mereka kekurangan referensi dan pemerkayaan ingatan.

4. Selalu membuka kamus untuk mencari sinonim dan kosakata baru, adalah mutlak bagi penulis, sebab seorang penulis harus memiliki perbendaharaan kata yang luas dan banyak. Di era online ini, sungguh tidak sulit membuka kamus, dan amat mudah. Hal ini masih saya lakukan sampai sekarang.

Demikian trik yang saya lakukan pada tahap awal ketika saya sangat meninginkan tulisan saya, terutama puisi, dapat dimuat di koran.

Salam
Daf


3 komentar:


EmoticonEmoticon